Kata Pengantar
Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan Semesta Alam
yang telah memberikan Rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis mendapatkan
berbagai kemudahan dalam mempersiapkan makalah yang berjudul “pernikahan mut’ah menurut sunni dan syi’ah”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II. Ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran terselesainnya makalah ini.
Tentunya makalah ini tak pernah luput dari
kesalahan dan kekurangan baik itu di segi penulisan ataupun penyusunan. Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun untuk perbaikan makalah di kemudian hari. Penulis berharap
semoga apa yang ditulis di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.....................................................................
II
Pernikahan mut’ah menurut sunni dan syi’ah
A. Pengertian Nikah Mut’ah.............................................................
B. Hukum
nikah mut’ah menurut sunni dan syi’ah..........................
III PENUTUP
A.
Kesimpulan.........................................................................................
B.
Saran...................................................................................................
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
I-
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan
adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia
merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap
keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat
penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada
umumnya. Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan
mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan
jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung
dalam pernikahan, antara lain Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan
ketentraman. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan
rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Keutuhan
jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada
kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga
sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan.
Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman,
dan kasih sayang keluarga.
Dengan melihat idealnya hikmah dari
pernikahan, maka Allah melalui ayat yang lain yaitu ayat 32 pada surat An-Nur.
Dimana didalamnya menjelaskan tentang anjuran menikah dan larangan melacur.
Berdasakan hal tersebut, penulis akan memaparkan penjelasan dalam rangka
mengupas secara mendetail kandungan ayat tersebut. Dengan tujuan agar kita
dapat memahami secara mendalam dan komprehensif tentang pemahaman yang terdapat
di dalam ayat tersebut. Karena ayat tersebut merupakan salah satu ayat ahkam
yang ada di dalam al-Qur’an.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertiian Nikah Mut’ah
(#qßsÅ3Rr&ur 4‘yJ»tƒF{$#
óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB
ö/ä.ÏŠ$t6Ïã
öNà6ͬ!$tBÎ)ur
4 bÎ) (#qçRqä3tƒ
uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììÅ™ºur
ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ É#Ïÿ÷ètGó¡uŠø9ur
tûïÏ%©!$# Ÿw tbr߉Ågs† %·n%s3ÏR
4Ó®Lym ãNåkuŽÏZøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 tûïÏ%©!$#ur
tbqäótGö6tƒ
|=»tGÅ3ø9$#
$£JÏB
ôMs3n=tB
öNä3ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqç7Ï?%s3sù
÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz ( Nèdqè?#uäur
`ÏiB ÉA$¨B
«!$# ü“Ï%©!$#
öNä38s?#uä 4 Ÿwur (#qèdÌõ3è?
öNä3ÏG»uŠtGsù ’n?tã
Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ)
tb÷Šu‘r&
$YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u‹÷R‘‰9$#
4 `tBur
£`‘gdÌõ3ãƒ
¨bÎ*sù ©!$#
.`ÏB ω÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î)
Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÌÈ ô‰s)s9ur
!$uZø9t“Rr&
óOä3øŠs9Î) ;M»tƒ#uä
;M»uZÉit7•B WxsWtBur z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#öqn=yz
`ÏB óOä3Î=ö6s%
ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÌÍÈ
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui.( Q.S. An-Nur : 32. )
Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian diri nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan
Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. ( Q.S. An-Nur :
33. )
Dan
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. ( Q.S. An-Nur : 34. )
1.
Ma’na al-Mufradat
الْأَيَامَى :
merupakan jama dari kata أيّم yang berarti orang yang belum
beristri atau belum bersuami, baik statusnya itu perawan/perjaka maupun sudah
janda/duda. Dalam bahasanya orang Arab الْأَيَامَى: mereka yang tidak berpasanganan, baik
dari laki-laki maupun perempuan.
عِبَادِكُمْ : berarti budak
وَاسِعٌ
:
Dzat yang memiliki kekayaan luas yangmana Allah memberikan rezeki tersebut kepada orang yang Dia kehendaki
dari hamba-Nya.
عَلِيمٌ
: Maha mengetahui segala kebutuhan manusia dan sesuatu yang baik bagi mereka. Maka
Dialah yang melimpahkan rezeki serta membagikan kepada mereka.
وَلْيَسْتَعْفِفِ : sebuah
perintah untuk untuk menjauhan diri (العفة), bahasanya orang Arab العفة : menahan diri dari sesuatu yang tidak halal dan
tidak baik. Ada juga yang mengartikan sabar dan menjauhkan/membersikan dari
sesuatu.
الْكِتَابَ : Az-Zamakhsyari berkata الكتاب والمكاتبة كالعتاب والمعاتبة, yaitu seseorang
berkata kedapa budaknya: “saya menggantikan kamu dengan seribu dirham, jika kamu
sudah menjalankan maka kamu bebas/merdeka”.[1]
خَيْراً : kata الخير digunakan yang berhubungan dengan
harta, sebagai dalam ayat "ان
ترك خيرا الوصية للوالدين",
tapi pendapat ini lemah, ada juga yang menghubungkan dengan perbuatan. Adapun
lebih shahih adalah berarti: kebaikan, kejujuran dan kesetiaan. Maksudnya: jika
kalian mengatahui kapasitas penghasilan, kesetiaan dan kejujuran mereka,
maka mukatabah-lah atas kemerdekaan diri mereka.
فَتَيَاتِكُمْ : merupakan
jama’ dari فتاة (pemuda),
Al-Alusi berkata: setiap kata dari “ فتى” dan “ فتاة ” itu adalah kinayah
masyhurah dari “العبد dan الأمة”
الْبِغَاءِ : bentuk jama’nya بغايا : pelacur, maksudnya: memaksa budak untuk
melacur/berzina. Dalam hadits: “نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مهر
البغي ”.
تَحَصُّناً : bermakna تعففاً, sebagaimana dalam penjelasan العفة.
عَرَضَ الْحَيَاةِ : harta
kehidupan, yaitu keperawanan.
آَيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ : ayat-ayat yang memberikan
penerangan/penjelasan.
2.
Al-Ma’na al-Ijmali
Nikahkanlah orang-orang yang belum
bersuami atau belum beristri. Tegasnya, berikanlah pertolongan kepada mereka
sehingga mereka dapat melaksanakan pernikahan.
Nikahkanlah juga budak-budakmu, baik
laki-laki maupun perempuan yang sanggup berumah tangga, sanggup memenuhi
haknya, sehat badan, bekecukupan serta dapa melaksanakan hak-hak agama yang
wajib bagi mereka. Janganlah kamu melihat kemiskinan orang yang meminang atau
kemiskinan orang yang akan kamu nikahi. Karena Allah mempunyai keluasan dan
kekayaan. Tidak ada penghabisan bagi keutamaan-Nya dan tidak ada batasan bagi
kodratnya. Dia bisa memberi rezeki yang cukup kepada suami istri tersebut.
Serta Allah juga Maha mengetahui. Dia memberi rezeki yang lapang kepada siapa
yang Dia kehendaki dan Dia menyempitkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki.
Bagai mereka yang tidak memperoleh
jalan yang memungkinkan untuk menikah, hendaklah mengguhkan niatnya sampai
mempunayi kemampuan untuk itu.
Apabila
budakmu yang ingin memerdekakan diri secara mukatabah, dengan
cara membayar uang tebusan sesuai perjanjian, maka penuhilah keinginan mereka
dan jadikanlah mereka orang yang merdeka setelah mereka memenuhi apa yang telah
diperjanjikan. Serta Allah juga mendorong para tuan (pemilik) budak yang
bersangkutan untuk memberikan sebagian hartanya kepada budak yang dimilikinya
untuk dapat dipergunakan membayar tebusan atas dirinya.
Janganlah memaksa budak perempuanmu
supaya mereka melacurkan diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka
sesungguhnya tidak mau malakukannya. Perempuan yang dipaksa melacur akan
diampuni dosanya oleh Allah dan dosa itu dipikul oleh orang yang memaksanya.
Kami (Allah) telah menurunkan
kepadamu ayat-ayat al-Qur’an yang nyata, yang menjelaskan segala apa yang kamu
perlukan. Sebagaimana Allah telah menurunkan kisah-kisah umat terdahulu dan
berbagai macam pelajaran yang menjadi ibarat atau contoh bagi semua orang yang
bertaqwa.
3. Asbabul Nuzul Ayat
Untuk lebih memahami kandungan
ayat-ayat al-Qur’an, kiranya diperlukan pengetahuan latar belakang turunnya (Asbabul Nuzul)
ayat tersebut. Imam Al-Wahidi berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat
al-Qur’an tidaklah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan
kejadian turunnya ayat tersebut. Ibnu Daqiqil ‘Id berpandangan bahwa mengatehui
keterangan tentang kajadian turunnya suatu ayat merupakan cara yang paling baik
untuk memahami makna ayat tersebut. Begitu juga Ibnu Taimiyyah mengemukakan
bahwa mengetahui asbabul nuzul suatu dapat menolong kita dalam
memahami makna ayat tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai asbabul nuzul. Dari tiga ayat
al-Qur’an dalam pembahasan tentang anjuran menikah dan larangan melacur ini,
hanya ada satu ayat yang mempunyai asbabul nuzul yaitu ayat:
33. Berikut inilah beberapa riwayat asbabul nuzul ayat
tersebut[2]
1. Diriwayatkan
oleh Ibnu Sakan dalam kitab Ma’rifatush Shahabah dari Abdullah bin Shuhaibah
yang bersumber dari bapaknya.
Dikemukakan bahwa Shubaih, hamba sahaya Huwaithib bin ‘Abdil
‘Uzza, meminta dimerdekakan dengan perjanjian tertentu. Akan tetapi
permohonannya ditolak, maka turunlah ayat ini (Q.S. An-Nur:33).
2. Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay menyuruh jariahnya
(hamba sahaya wanita) melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Jariah tersebut
bernama Masikah dan Aminah yang mengadukan kepada Rasulullah tentang hal
tersebut. Lanjutan dari ayat ini (Q.S. An-Nur:33) berkenaan dengan peristiwa
tersebut.
3. Diriwayatkan
oleh al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir.
Dikemukakan bahwa Masikah itu jariah milik seorang Ansar. Ia
mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksa untuk melacur.
4. Diriwayatkan
oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari
Ibnu Abbas.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai seorang jariah
yang suka disuruh melacur sejak zaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, jariah
tersebut tidak mau lagi melakukannya.
5. Diriwayatkan
oleh sa’id bin Manshur dari Sya’ban, dari Amr bin Dinar yang bersumber dari
Ikrimah.
Dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang
jariah, Mu’adzah dan Masikah. Keduanya dipaksa untuk melacurkan diri.
Berkatalah salah seorang di antara kedua jariah itu: “sekiranya perbuatan itu
baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu, namun sekiranya
perbuatan itu tidak baik, sudah sepantasnya aku meninggalkannya”.
B. Hukum nikah mut’ah menurut sunni dan syia’ah
Ada beberapa kandungan hukum yang
ada di dalam ayat tersebut. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1. Ayat
tersebut ditujukan kepada siapa?
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat
ini bersifat umum, maksudnya hai orang mukmin nikahkanlah orang yang belum
berpasangan dari laki-laki da perempuan yang merdeka. Ada pendapat lain bahwa
ini ditujukan kepada wali merdeka saja, seperti orang tuanya, pendapat
ini diikuti oleh Al-Qurtubi.[5] Bahkan
ada yang berpendapat bahwa ini ditujukan pada para suami dengan alasan
merekalah yang diperintah untuk menikah.[6]
2. Apakah
menikah itu wajib atau sunnah?
Dalam hal ini para ulama fiqih
berbeda pendapat:
a. Mazhab
Al-Dhahiriyah: menikah itu wajib, maka akan mendapat dosa apabila ditinggalkan.
Dengan dalil dalam ayat tersebut menggunkan shighat
amar (perintah) “وانكحوا”
dan amar ini menunjukkan arti wajib, maka nikah hukumnya wajib. Serta dengan
pernikahan ini dapat menghindarka diri dari keharaman, “suatu hal yang dapat
menjadikan ketidaksempurnaan kecuali dengan hal itu, maka hal tersebut
juga wajib”.
b. Mazhab
Syafi’i: menikah itu mubah dan tidak dosa apabila ditinggalkan.
Denga dalil karena menikah itu suatu perbutan untuk
memperoleh kesenagan dan syahwat, maka hal tersebut mubah seperti halnya makan
dan minum.
c. Mazhab Jumhur
(al-Malikiyah, al-Ahnaf dan al-Hanabilah): menikah itu مستحب dan ومندوب, tidak wajib.
Dengan dalil:
1. Tidak dapat diingkari
pada masa nabi dan seluruh masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan
perempuan yang tidak menikah, dan nabi tidak mengingkari hal itu.
2. Hadits Nabi: أحب فطرتي فليستن بسنتي
وإن من سنتي النكاح
3. Hadits Nabi: من رغب عن سنتي فليس
مني
Al-Qurtubi berpendapat
bahwa perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan di lihat dari keadaan orang
mukmin itu snediri. Jika ia takut akan kerusakan dalam agamanya atau dunianya
maka menikah hukumnya wajib. Dan jika ia mampu mengendalikan diri (tidak takut
akan agamanya) serta ada keluasan untuk menikahi orang merdeka, maka sunnah
baginya. Sedangkan orang yang tidak keluasan maka sebisa mungkin ia menahan
diri meskipun berpuasa, karena berpuasa adalah pemutus baginya.[7]
Hasbi Ash-Shiddieqy
juga memberi penjelasan bahwa perintah yang dikandung dalam ayat ini merupaka
anjuran, bukan suatu keharusan, kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si
perempuannya sendiri. Dasarnya kita menetapka bahwa perintah ini bukanlah wajib
karena kenyataan pada masa nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan
hidup membujang. Tetapi dapat dikatakan perintah di sini adalah wajib apabila
dengan tidak menikah mereka yang bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah.[8]
3. Dalam ayat وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين
لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً sebagai dalil larangan nikah mut’ah.
Apabila kita
perhatikan susunan ayat-ayat ini dan dengan sebelumnya, Allah mula-mula
menyuruh kita memelihara diri dari fitnah dan maksiat, yaitu seperti memjamkan
mata dari melihat bagian tubuh lawan yang dilarang. Sesudah itu Allah menyuruh
kita menkah untuk memelihara agama dan berikutnya menyuruh kita menahan diri
dari hawa nafsu.Pada akhirnya Allah menyuruh kita menahan syahwat ketika kita
tidak sanggup menyediakan keperluan yang dibutuhkan oleh suami istri sehingga
mereka mendapatkan kesanggupan. Dengan begitu Allah memerintah kita untuk
bersabar dari menikah, jika tidak mampu memberikan belanja keperluan rumah
tangga nantinya.[9]
Dengan demikian bagi
seseorang yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, sedangkan ia belum
mempunyai harat maka bersabarlah menahan syahwatnya, bukan nya melakukan nikah
mut’ah. Sebagaimana hadit Nabi:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ
4. Larangan melacur
Dalam firman
Allah وَلَا
تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ, maksudnya janganlah kamu sekalian memaksa budak perempuanmua
supaya mereka melacurka diri untuk mencari kekayaan, sedangkan mereka
sesungguhnya tidak mau. Firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa
larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya.
Sebenarnya, walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka
untuk melacurkan diri. Sebagai dalam riwayat asbabul nuzul ayat
ini diturunkan.[10]
Ibnu Mardawaih
mengeluarkan riwayat dari Ali karamallu wajhah, bahwa pada masa
jahiliah, orang-orang memaksa budak-budak wanitanya utnuk berzina atau melacur
agar mereka dapat mengambil upahnya, lalu Islam turun melarang mereka berbuta
demikian dan kahirnya turun hal tersebut.[11]
5. Bagaimana yang
dimaksud dengan pemaksaan untuk melacur di sini dan apakah dihilangkan hadnya
sebab dipaksa bagi laki-laki dan perempuan?
Dalam firman
Allah وَلَا
تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ bahwa pemaksaan di sini adalah sesuatu yang dapat mendatangkan
kerusakan pada jiwa, seperti mengancam akan dibunuh atau juga sesuatu yang
dapat merusak anggota tubuh. Adapun jika pemaksaan tersebut bersifat ringan
maka itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sesungguhnya pemaksaan
dapat menggugurkan pentaklifan bagi manusia dan dosa patut
diberika kepada orang yang dipaksa. Dimana orang yang dalam keadaan dipaksa
untuk melakukan zina maka dia sama halnya dipaksa untuk mengucapkan kalimat
kufur. Dalam firman Allah إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بالإيمان,
maksudnya jika seseorang itu dipaksa untuk melacur, tapi dia merasa senang maka
itu tidak bisa dikatakan pemaksaan.
Sedangkan dalam
penghilangan had, menurut Jumhur ulama mengatakan bahwa
penghilangan had bagi laki-laki dan perempuan seperti dihilangkannya dosa dalam
ayat di atas, karena hukumnya seorang laki-laki sama dengan hukumnya seorang
perempuan. Ini berdasarkan hadits Nabi:
عن أمتي الخطأ ،
والنسيان ، وما اسْتُكرهوا عليه
Dalam hal ini Abu
Hanifah menambahi bahwa jika seorang laki-laki dipaksa seorang perempuan maka
itu juga tidak bisa dikatakan pemaksaan yang maksud di sini.
6.
Hikmat al-Tasyri’
Allah mensyari’atkan
pernikahan itu untuk mengatur manusia dengan tujuan mulia dan manfaat yang
besar. Dan Allah memerintah untuk memudahkan jalannya pernikahan karena
pernikahan cara yang tepat untuk mereproduksi keturunan, sehingga tersebar luas
penduduk bumi dengan keturunan yang benar. Allah tidak menghendaki ada
kekacauan di antara laki-laki dan perempuan, yang saling meninggalkan dan
melantarkan seperti yang terjadi pada binatang. Tetapi dengan meletakkan
peraturan tepat yang melindungi martabat manusia dan melestarikan kehormatan.
Sehingga tercipta hubungan laki-laki dan perempuan dengan hubungan yang bersih
dan murni atas dasar saling ridla. Dengan ini wanita akan merasa dilindungi dan
aman.
Dengan cara ini
merupakan cara yang paling aman untuk memuaskan dan memenuhi naluri dan syahwat
yang bebas dari gangguan. Sebagaimana Allah mengizinkan mereka dan ini
ditujukan dalam ayat:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”(An-Nur:
22)
Pernikahan merupakan
cara yang terbaik untuk memiliki anak, memperbanyak keturunan dan melanjutkan
kehidupan dengan tetap menjaga garis keturunan. Rasulullah menggambarkan bahwa
pernikahan adalah harta yang paling baik di kehidupan ini. “الدنيا متاعٌ وخيرُ
متاعها المرأةُ الصالحة”. Bahkan Nabi juga pernah menyatakan bahwa wanita shalihah
adalah harta yang tersimpan.
ألا أخبركم بخير ما يكنز المرء؟ المرأة الصالحة إن نظر إليها سرته
، وإن أمرها أطاعته ، وإن غاب عنها حفظته في نفسها وماله.
Islam memerintah untuk
memudahkan jalannya pernikahan agar kehidupan ini berjalan pada normalnya. Dan
juga Islam memerintah menghilangkan semua hambatan dari berbagai segi, termasuk
keuangan yang menjadi hambatan yang paling utama dalam membentuk rumah tangga.
Maka dari itu Allah memperingatkan untuk tidak boleh berpaling dari pernikahan
bagi orang miskin. Karena rezeki dibawah kekuasaan Allah, walaupun ia memilih
untuk menahan diri. Maka dari itu, semua umat harus membantu mereka dalam
proses pernikahannya dan juga membantu dalam menyediakan lapangan pekerjaan
agar mereka tetap menjadi satu anggota kemasyarakatan yang tidak lumpuh.
Al-Qur’an memberikan
kesempatan menikah bagi pemuda yang sudah siap, bagi yang belum siap Allah
memerintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang haramm. Sebagaimana dalam
ayat
وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً حتى يُغْنِيَهُمُ
الله مِن فَضْلِهِ.
Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan dan larangan pelacuran:
1. Pernikahan dapat
menciptakan kasih sayang dan ketentraman
2. Pernikahan dapat
melahirkan keturunan secara sah dan terhormat
3. Dengan pernikahan
agama dapat terpelihara
4. Pernikahan dapat
memelihara ketinggian martabat seorang wanita
5. Pernikahan dapat
menjauhkan perzinahan
III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung anjuran
menikah dan menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan tidak beristri,
termasuk juga budak-budak yang sudah layak dan sudah cukup usia hendaklah dibantu
dalam melaksanakan keinginannya. Apabila mereka belum mampu untuk menikah maka
bersabarlah dengan menahan dir dari hawa nafsu.
Dalam ayat tersebut juga mencakup
tentan hukum larangan kepada orang-orang yang memiliki hamba sahaya wanita
memaksakan untuk melacurkan diri untuk mencari keungtungan dan memperoleh
penghasilan dari melacur mereka ini, padahal mereka itu ingin mempertahankan
kesuciannya. Akan tetapi, firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa
larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya.
Walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka untuk
melacurkan diri.
B. Saran
1. Membicakan tentang ontologi hukum
islam sangatlah luas dan juga susah dipahami oleh kebanyak orang apabila kurang
pemahaman tentang islam. Maka dari itu saran kami untuk memudahkan pemahaman
tentang ontologi hukum islam harus ada satu referensi atau buku tentang
ontologi hukum islam.
2. Karakteristik hukum islam yaitu untuk
membedakan hukum islam dengan hukum umum. Maka saran kami untuk harus teliti
dan memahami betul tentang karakteristik hukum islam dikarnakan untuk
membedakan dengan hukum umum yang lain.
3. Kaidah hukum islam adalah untuk
menjawab persoalan yang baru yang terdapat di dalam permasalah hukum yang tiada
dalam Al-Quran dan Hadis. Maka saran kami bagi yang mengunakan kaidah hukum
islam di dalam permasalahan yang baru muncul harus benar-benar teliti dan paham
terhadap kaidah hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
K.H.Q. Shaleh dkk, Asbabul Nuzul; Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar, Tafsir Al
Kasysyaf, t.t.
.Doi, A. Rahman I, Penjelasan
lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta: RajaGrafindo, 2002.
Imam Tajuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd AL-Kafi, Al-asybah wa al-Nazhair, Beirut: Dar
al-kutup al-Islamiah, 727-771.
A.Susanto, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Bumi Askara, 2007.
Abd.Rahman Dahlan, Ushul fiqh,
Jakarta: Amzah, 2014.
A-Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: kencana, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar