BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam pandangan
Islam, perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar
urusan keluarga dan urusan budaya, tetapi masalah dan peristiwa Agama. Oleh
karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah swt dan RasulNya
saw dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah swt dan RasulNya saw. Rukun
dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum.
Pernikahan
adalah suatu yang sacral dilakukan dan suci, merupakan dambaan setiap pemuda
dan pemudi. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan,
karena harus ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah
satu dari syarat dan rukun maka menurut ulama fiqh tidak sah pernikahan.
Adapun salah
satu rukun yang harus dipenuhi adalah adanya wali dari pihak perempuan, apabila
rukun ini tidak dipenuhi maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan. Pada
hakikatnya seorang perempuan harus dinikahkan oleh ayahnya yang bertindak
sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antara keduanya itu berjalan
dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendapat seorang ayah tidak mau
bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.[1]
Kedudukan wali
hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang telah nyata ketaqwaannya.
Sementara orang yang telah melanggar syari`at tidak dapat diberikan kedudukan
yang mulia ini. Saat ini, masih banyaknya masyarakat yang kurang paham terhadap
kedudukan wali dalam perikahan, sehingga membuat mereka terkadang kurang
memperdulikan masalah perwalian ini dalam proses pelaksanaan akad nikah.
Perwalian dalam
perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i atas segolongan manusia
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena kekurangan tertentu pada
orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.[2]
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
Pengertian Pewalian?
2.
Bagaimanakah
kedudukan wali dalam pernikahan?
3.
Jelaskan
apa saja syarat dan fungsi wali dalam perikahan?
4.
Sebutkan
dan jelaskan macam-macam wali dan urutan wali dalam pernikahan?
5.
Jelaskan
bagaimanakah kekuasaan wali dalam pernikahan?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari perwalian.
2.
Untuk
mengetahui kedudukan wali dalam pernikahan.
3.
Untuk
memahami dan mengetahui syarat dan fungsi wali dalam perikahan.
4.
Untuk
mengetahui macam-macam wali dan urutan wali dalam pernikahan.
5.
Untuk
mengetahui kekuasaan wali dalam pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perwalian
Kata wali
berasal dari bahasa Arab yaitu al wali,
dengan bentuk jamaknya yaitu auliyaa
yang berarti saudara atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata wali mengandung
pengertian orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi untuk mengurus
kewajiban anak yatim sebelum anak itu dewasa. Pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah yaitu pihak yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria.[3] Wali
dalam nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak
sah nikahnya tanpa adanya wali.[4]
Dari beberapa
pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali adalah orang yang
melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan
rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
Perwalian dalam
arti umum yaitu, segala sesuatu yang berhubungan denga wali dan wali mempunyai
banyak arti antara lain:
a.
Orang
yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta
hartanya, sebelum anak itu dewasa.
b.
Pengasuh
pengganti perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki).
c.
Orang
saleh (suci penyebar agaa).
d.
Kepala
pemerintah.[5]
Perwalian adalah
hak syar`i yang atas hal itu, kekuasaan wali atas orang lain diberlakukan tanpa
kehendaknya.
B. Kedudukan
Wali
Keberadaa
seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat
berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan
dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan
perkawinan tersebut.
Dalam
kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
melakukan akad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama terhadap
mempelai yang masih kecil, ulama sepakat bahwa mempelai yang masih kecil tidak
dapat melakukan akad dengan sedirinya dan oleh karenanya akadya dilakukan oleh walinya. Namun terhadap
perepua yang telah dewasa baik yang sudah janda atau yang masih perawan para
ulama berbeda pendapat disebabkan karena tidak adanya dalil yang pasti yang
dapat dijadika rujukan. [6]
Wali adalah
rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa
adanya wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahinya.[7]
Namun para ulama
berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut beberapa
pendapat ulama mengenai kedudukan wali dalam perikahan, yaitu:
a.
Jumhur
Ulama Imam Syafi`i dan Imam Malik
Mereka
berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tidak ada
perkawinan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan tanpa
wali hukumnya tidak sah (batal).
b.
Imam
Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka
berpendapat bahwa jika wanita itu telah baliqh dan berakal, maka ia mempunyai
hak untuk menjakat nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu, Abu Hanifah
melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan
gimana kalau mereka sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasaruf
dalam hukum-hukum mu`amalah menurut syara`, maka dalam akad nikah mereka lebih
berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Khususnya kepada wanita janda diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya
dan dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut
beliau pula, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita
melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannya maka wali
mempunyai hak i`tiradh (mencegah perkawinan).
C. Syarat-Syarat
dan Fungsi Wali
1. Syarat-Syarat
Wali
Wali dalam
pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya wali. Oleh karena itu, maka seorang wali haruslah memenuhi syarat,
sebagai berikut:
a)
Islam,
tidak sah orang yang bukan muslim menjadi wali nikah.
b)
Baliqh
atau telah dewasa, anak kecil tidak berhak menjadi wali.
c)
Berakal,
orang gila tidak ada hak menjadi wali.
d)
Laki-laki,
perempuan tidak dibolehkan menjadi wali.
e)
Adil,
telah dikemukakan bahwa wali itu harus adil maksudnya yaitu tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar.
Sayid Sabiq
dalam bukunya Fiqh Sunnah
mengemukakan beberapa persyarata wali nikah yaitu sebagai berikut: merdeka,
berakal sehat, dan dewasa. Budak, orang gila, dan anak keci tidak boleh menjadi
wali, karena orang tersebut tidak bisa mengwalikan dirinya sendiri apalagi
terhadap orang lain. Dan syarat yang ke empat yaitu beragama Islam.[8]
2. Fungsi
Wali
Dalam Islam ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya pada masalah perkawinan.
Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk
melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia
dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan
akad nikahnya sendiri.
Suatu perkawinan
sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang.
Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering
mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat
melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan
menimpa walinya.
Disamping itu
pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab
(penawaran), sedangkan pengantin laki-laki diperintahkan mengucapkan qabul
(penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka
pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa
fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan
untuk mengucap ijab dalam akad nikah.
D. Macam-Macam
Wali Nikah dan Urutan Wali
1. Macam-Macam
Wali
a. Wali
Nasab
Wali
nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali. Imam Syafi`i berpedapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk
ashabah seorang wanita.[9]
Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah bila dinikahkan oleh wali yang dekat
lebih dulu, bila tidak ada yang dekat-dekat, baru dilihat urutan secara tertib.
Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertidak
sebagai wali.[10]
b. Wali
Hakim
Wali
hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila:
1)
Calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2)
Walinya
mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
3)
Wali
berada di tempat yang jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan untuk shalat
qashar.
4)
Walinya
berada dalam penjara atau tahanan yang tidak bisa dijumpai.
5)
Wali
sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
6)
Walinya
gila atau fasik.
c. Wali
Muhakkam
Wali
Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk
bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai
wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya
terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[11]
Adapun
cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami dan isteri mengucapkan
tahkim yang sama kemudian calon hakim tersebut menjawab. Wali muhakkam terjadi
apabila:
1)
Wali
nasab tidak ada.
2)
Wali
nasab qaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya
disitu.
3)
Tidak
ada qadi atau pegawai pencatat nikah.
d. Wali
Maula
Wali
maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri.
Laki-laki boleh menikahkan budak perempuannya yang berada dalam kekuasaannya
bilamana budak itu rela menerimanya.
2. Urutan
Wali
Hanafi
mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak laki-laki wanita
yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun hasil zina.
Kemudian berturut-turut: cucu laki-laki (dari anak laki-laki), ayah, kakek dari
pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki
sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan
seterusnya. Dari urutan ini, jelaslah bahwa penerima wasiat dari ayah tidak
memegang perwalian nikah, sekalipun wasiat itu disampaikan secara jelas.
Maliki
mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari ayah, anak
laki-laki (sekalipun anak zina) manakala wanita tersebut punya anak, lalu
berturut-turut: saudara laki-laki, kakek, paman, dan seterusya, dan sesudah semua
itu tidak ada, perwalia beralih ke tangan hakim.
Urutan yang
digunakan syafi`i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki
kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki,
paman, anak paman, dan seterusnya, dan bila semua itu tidak ada, perwalian itu
beralih ke tangan hakim.
Hambali member
urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudia yang terdekat dan seterusnya,
mengikut urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ketangan hakim.
Kemudian Hanafi
mengatakan bahwa manakala ayah atau kakek mengawinkan anak gadis mereka yang
masih kecil dengan orang yang tidak sekufu, maka akad nikahnya sah jika ia
tidak dikenal sebagai pemilik yang jelek. Akan tetapi, bila yang mengawinkannya
bukan ayah atau kakeknya, dengan orang yang tidak sepadan, maka akad nikah
tidak sah sama sekali.
Sedangkan
Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak
gadisnya yang masih kecil kurang dari mahat mitsil, sedangkan syafi`i
mengatakan bahwa ayah tidak berhak atas itu, dan bila dia melakukannya juga,
maka si anak boleh menuntut mahar mitsil bagi dirinya.[12]
E. Kekuasaan
Wali
Delapan
persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan wali, yaitu sebagai berikut:
1.
Gadis
yang belum dewasa (masih kecil) dinikahkan oleh ayahnya.
2.
Gadis
yang sudah dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
3.
Gadis
yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
4.
Gadis
yang sudah dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
5.
Janda
yang belum dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
6.
Janda
yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
7.
Janda
yang dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
8.
Janda
yang dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
Delapan macam
masalah tersebut tidak lepas dari hukum sah dan tidak sah, atau sah dengan hak
khiyar bagi wanita. Ketentuan hukum bagi tiap-tiap masalah tersebut juga tidak
terlepas dari perbedaa pendapat para ulama fiqh.
Perbedaan
pendapat dalam masalah tersebut disebabkan berlainan pandangan terhadap keadaan
wadah hukum (wanita) umpamanya:
a.
Gadis
b.
Janda
c.
Dewasa
d.
Tidak
dewasa
e.
Dinikahkan
oleh ayah
f.
Dinikahkan
oleh wali selain ayah[13]
1.
Janda
Tidak
ada perbedaan pedapat ulama bahwa yang dikatakan janda adalah wanita yang
keperawanannya hilang disebabkan persetubuhan dari akad nikah yang sah atau
fasit.
2.
Gadis
yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayah
Wali
selain ayah menikahkan gadis yang belum dewasa (dibawah umur). Wali selain ayah
dapat dibagi menjadi dua golonga, yaitu pertama datuk (kakek), kedua wali-wali
selain datuk
Syafi`i,
Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: jika wanita yang baligh dan berakal sehat
itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia
janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali tiak boleh mengawinkan wanita janda
tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawika dirinya
tanpa restu dari wali.
Hanafi
mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik itu gadis
maupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempuyai wewenang atas dirinya atau
menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilih itu sekufu dengannya dan
maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil.[14]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pengertian
wali
wali
adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena
wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan
batal.
2.
Kedudukan
Wali
Keberadaa
seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat
berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan
dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan
perkawinan tersebut.
Dalam
KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya
3.
Syarat
dan fungsi wali
a.
Syarat
wali, yaitu: Islam, Baliqh, Berakal, Laki-laki, Adil (yaitu tidak bermaksiat,
tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat
mungkar).
b.
Fungsi
Wali, yaitu: Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya
pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal),
maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan
wanita, walaupun ia dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak
diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
4.
Macam
wali dan urutan wali nikah
a.
Macam
wali
1)
Wali
nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak
menjadi wali.
2)
Wali
hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan.
3)
Wali
Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk
bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
4)
Wali
maula yaitu wali yang menikahkan budaknya.
b.
Urutan
wali
1)
Bapak,
Kakek sebelah bapak dan seterusnya ke atas.
2)
Saudara
laki-laki kandung
3)
Saudara
laki-laki sebapak
4)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki kadung
5)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6)
Paman
sebapak
7)
Anak
laki-laki paman kandung
8)
Anak
laki-laki paman sebapak
5.
Kekuasaan
wali
jika
wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan
dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada
keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya
sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawika dirinya tanpa restu dari wali.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Slamet, dkk, Fiqh Munakahat, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Aljaziri,
Abdurrahman, Al Fiqh `ala Mazaahib
Al-arba`ah, Beirut: Daar AL-Fikr, Juz
4.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Hasbi,
Alimuddin, Fiqh Muqarran, Lhokseumawe:
Sefa Bumi Persada, 2015.
Kompilasi
Hukum Islam.
M.Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
Bumi Akasara, 1999.
M.Yusuf,
Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut
Empat Mazhab, Jakarta: Hida
karya Agung, 1996.
Raman
Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Kencana, 2008.
Syarifuddin,
Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafido
Persada, 2000.
Sayyid
Sabiq, Muhammad, Fiqih Sunnah, Jakarta
Timur: Tinta Abadi Gemilang,
2013.
[3] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:
Raja Grafido Persada, 2000), h. 74.
[10] M.Yusuf,
Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut
Empat Mazhab (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 55.
[11] M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi
Akasara, 1999), h. 25.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....