Minggu, 30 Juli 2017

Makalah Perwalian Dalam Hukum Fiqh Muqaran



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan urusan budaya, tetapi masalah dan peristiwa Agama. Oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah swt dan RasulNya saw dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah swt dan RasulNya saw. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum.
Pernikahan adalah suatu yang sacral dilakukan dan suci, merupakan dambaan setiap pemuda dan pemudi. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan, karena harus ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah satu dari syarat dan rukun maka menurut ulama fiqh tidak sah pernikahan.
Adapun salah satu rukun yang harus dipenuhi adalah adanya wali dari pihak perempuan, apabila rukun ini tidak dipenuhi maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan. Pada hakikatnya seorang perempuan harus dinikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai wali, namun tidak selamanya hubungan antara keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang hanya karena berbeda pendapat seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi anaknya.[1]
Kedudukan wali hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang telah nyata ketaqwaannya. Sementara orang yang telah melanggar syari`at tidak dapat diberikan kedudukan yang mulia ini. Saat ini, masih banyaknya masyarakat yang kurang paham terhadap kedudukan wali dalam perikahan, sehingga membuat mereka terkadang kurang memperdulikan masalah perwalian ini dalam proses pelaksanaan akad nikah.
Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Pengertian Pewalian?
2.      Bagaimanakah kedudukan wali dalam pernikahan?
3.      Jelaskan apa saja syarat dan fungsi wali dalam perikahan?
4.      Sebutkan dan jelaskan macam-macam wali dan urutan wali dalam pernikahan?
5.      Jelaskan bagaimanakah kekuasaan wali dalam pernikahan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari perwalian.
2.      Untuk mengetahui kedudukan wali dalam pernikahan.
3.      Untuk memahami dan mengetahui syarat dan fungsi wali dalam perikahan.
4.      Untuk mengetahui macam-macam wali dan urutan wali dalam pernikahan.
5.      Untuk mengetahui kekuasaan wali dalam pernikahan.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perwalian
Kata wali berasal dari bahasa Arab yaitu al wali, dengan bentuk jamaknya yaitu auliyaa yang berarti saudara atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata wali mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim sebelum anak itu dewasa. Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu pihak yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria.[3] Wali dalam nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali.[4]
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
Perwalian dalam arti umum yaitu, segala sesuatu yang berhubungan denga wali dan wali mempunyai banyak arti antara lain:
a.       Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
b.      Pengasuh pengganti perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c.       Orang saleh (suci penyebar agaa).
d.      Kepala pemerintah.[5]
Perwalian adalah hak syar`i yang atas hal itu, kekuasaan wali atas orang lain diberlakukan tanpa kehendaknya.
B.     Kedudukan Wali
Keberadaa seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Dalam kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama terhadap mempelai yang masih kecil, ulama sepakat bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sedirinya dan oleh karenanya akadya  dilakukan oleh walinya. Namun terhadap perepua yang telah dewasa baik yang sudah janda atau yang masih perawan para ulama berbeda pendapat disebabkan karena tidak adanya dalil yang pasti yang dapat dijadika rujukan. [6]
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa adanya wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.[7]
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut beberapa pendapat ulama mengenai kedudukan wali dalam perikahan, yaitu:
a.       Jumhur Ulama Imam Syafi`i dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
b.      Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baliqh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk menjakat nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu, Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan gimana kalau mereka sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasaruf dalam hukum-hukum mu`amalah menurut syara`, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita janda diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau pula, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannya maka wali mempunyai hak i`tiradh (mencegah perkawinan).
C.    Syarat-Syarat dan Fungsi Wali
1.      Syarat-Syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu, maka seorang wali haruslah memenuhi syarat, sebagai berikut:
a)      Islam, tidak sah orang yang bukan muslim menjadi wali nikah.
b)      Baliqh atau telah dewasa, anak kecil tidak berhak menjadi wali.
c)      Berakal, orang gila tidak ada hak menjadi wali.
d)     Laki-laki, perempuan tidak dibolehkan menjadi wali.
e)      Adil, telah dikemukakan bahwa wali itu harus adil maksudnya yaitu tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar.
Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah mengemukakan beberapa persyarata wali nikah yaitu sebagai berikut: merdeka, berakal sehat, dan dewasa. Budak, orang gila, dan anak keci tidak boleh menjadi wali, karena orang tersebut tidak bisa mengwalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Dan syarat yang ke empat yaitu beragama Islam.[8]
2.      Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedangkan pengantin laki-laki diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucap ijab dalam akad nikah.
D.    Macam-Macam Wali Nikah dan Urutan Wali
1.      Macam-Macam Wali
a.      Wali Nasab
Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Imam Syafi`i berpedapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita.[9] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap  sah bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu, bila tidak ada yang dekat-dekat, baru dilihat urutan secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertidak sebagai wali.[10]
b.      Wali Hakim
Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai wali dalam  suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
1)      Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2)      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
3)      Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh perjalanan yang membolehkan untuk shalat qashar.
4)      Walinya berada dalam penjara atau tahanan yang tidak bisa dijumpai.
5)      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
6)      Walinya gila atau fasik.
c.       Wali Muhakkam
Wali Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[11]
Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami dan isteri mengucapkan tahkim yang sama kemudian calon hakim tersebut menjawab. Wali muhakkam terjadi apabila:
1)      Wali nasab tidak ada.
2)      Wali nasab qaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya disitu.
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah.
d.      Wali Maula
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan budak perempuannya yang berada dalam kekuasaannya bilamana budak itu rela menerimanya.
2.      Urutan Wali
Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun hasil zina. Kemudian berturut-turut: cucu laki-laki (dari anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan seterusnya. Dari urutan ini, jelaslah bahwa penerima wasiat dari ayah tidak memegang perwalian nikah, sekalipun wasiat itu disampaikan secara jelas.
Maliki mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun anak zina) manakala wanita tersebut punya anak, lalu berturut-turut: saudara laki-laki, kakek, paman, dan seterusya, dan sesudah semua itu tidak ada, perwalia beralih ke tangan hakim.
Urutan yang digunakan syafi`i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman, anak paman, dan seterusnya, dan bila semua itu tidak ada, perwalian itu beralih ke tangan hakim.
Hambali member urutan: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudia yang terdekat dan seterusnya, mengikut urutan yang ada dalam waris, dan baru beralih ketangan hakim.
Kemudian Hanafi mengatakan bahwa manakala ayah atau kakek mengawinkan anak gadis mereka yang masih kecil dengan orang yang tidak sekufu, maka akad nikahnya sah jika ia tidak dikenal sebagai pemilik yang jelek. Akan tetapi, bila yang mengawinkannya bukan ayah atau kakeknya, dengan orang yang tidak sepadan, maka akad nikah tidak sah sama sekali.
Sedangkan Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya yang masih kecil kurang dari mahat mitsil, sedangkan syafi`i mengatakan bahwa ayah tidak berhak atas itu, dan bila dia melakukannya juga, maka si anak boleh menuntut mahar mitsil bagi dirinya.[12]
E.     Kekuasaan Wali
Delapan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan wali, yaitu sebagai berikut:
1.      Gadis yang belum dewasa (masih kecil) dinikahkan oleh ayahnya.
2.      Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
3.      Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
4.      Gadis yang sudah dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
5.      Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
6.      Janda yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
7.      Janda yang dewasa dinikahkan oleh ayahnya.
8.      Janda yang dewasa dinikahkan oleh wali selain ayahnya.
Delapan macam masalah tersebut tidak lepas dari hukum sah dan tidak sah, atau sah dengan hak khiyar bagi wanita. Ketentuan hukum bagi tiap-tiap masalah tersebut juga tidak terlepas dari perbedaa pendapat para ulama fiqh.
Perbedaan pendapat dalam masalah tersebut disebabkan berlainan pandangan terhadap keadaan wadah hukum (wanita) umpamanya:
a.       Gadis
b.      Janda
c.       Dewasa
d.      Tidak dewasa
e.       Dinikahkan oleh ayah
f.       Dinikahkan oleh wali selain ayah[13]

1.      Janda
Tidak ada perbedaan pedapat ulama bahwa yang dikatakan janda adalah wanita yang keperawanannya hilang disebabkan persetubuhan dari akad nikah yang sah atau fasit.
2.      Gadis yang belum dewasa dinikahkan oleh wali selain ayah
Wali selain ayah menikahkan gadis yang belum dewasa (dibawah umur). Wali selain ayah dapat dibagi menjadi dua golonga, yaitu pertama datuk (kakek), kedua wali-wali selain datuk
Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali tiak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawika dirinya tanpa restu dari wali.
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik itu gadis maupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempuyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilih itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil.[14]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian wali
wali adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2.      Kedudukan Wali
Keberadaa seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatka sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam akad itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Dalam KHI pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang haru dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya
3.      Syarat dan fungsi wali
a.       Syarat wali, yaitu: Islam, Baliqh, Berakal, Laki-laki, Adil (yaitu tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orag yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar).
b.      Fungsi Wali, yaitu: Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuan oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.
4.      Macam wali dan urutan wali nikah
a.       Macam wali
1)      Wali nasab yaitu orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
2)      Wali hakim yaitu orang yang diangkat oleh pemerintahuntuk bertindak sebagai wali dalam  suatu pernikahan.
3)      Wali Muhakkam yaitu seseorag yang diangkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertidak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
4)      Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya.
b.      Urutan wali
1)      Bapak, Kakek sebelah bapak dan seterusnya ke atas.
2)      Saudara laki-laki kandung
3)      Saudara laki-laki sebapak
4)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki kadung
5)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6)      Paman sebapak
7)      Anak laki-laki paman kandung
8)      Anak laki-laki paman sebapak
5.      Kekuasaan wali
jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mewakikan dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawika dirinya tanpa restu dari wali.







DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet, dkk, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Aljaziri, Abdurrahman, Al Fiqh `ala Mazaahib Al-arba`ah, Beirut: Daar AL-Fikr, Juz
4.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Hasbi, Alimuddin, Fiqh Muqarran, Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015.
Kompilasi Hukum Islam.
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Akasara, 1999.
M.Yusuf, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta: Hida
karya Agung, 1996.
Raman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafido
Persada, 2000.
Sayyid Sabiq, Muhammad, Fiqih Sunnah, Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang,
2013.



[1] Abdul Raman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 190.
[2] Alimuddin Hasbi, Fiqh Muqarran, (Lhokseumawe: Sefa Bumi Persada, 2015), h. 93
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.
[4] Abdurrahman  Aljaziri, Al Fiqh `ala Mazaahib Al-arba`ah, (Beirut: Daar AL-Fikr, Juz 4), h. 29.
[5] Ibid, Alimuddin Hasbi, h. 93.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafido Persada, 2000), h. 74.
[7] Kompilasi Hukum Islam.
[8] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 371.
[9] Slamet Abidin, dkk, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 90.
[10] M.Yusuf, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 55.
[11] M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 1999), h. 25.
[12] ibid, Alimuddin Hasbi, h. 95-96.
[13] Ibid, h. 101-102.
[14] Ibid, h. 102-103.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus