Jumat, 04 Agustus 2017

Contoh Petunjuk Pelaksana Acara MTQ

PEDOMAN PELAKSANA
 KOMPETISI GEMILANG
DEMA FAKULTAS SYARI’AH
IAIN MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE
TAHUN 2017

1.         DASAR
a.         Tri Dharma Perguruan Tinggi
b.         AD/ART DEMA Fakultas Syari’ah
c.         Program kerja DEMA Fakultas Syari’ah masa bakti 2017-2018.
d.         Hasil musyawarah Pengurus DEMA Fakultas Syari’ah pada tanggal  1 Agustus 2017.
e.         Hasil rapat pembentukan panitia pelaksana kegiatan pada tanggal 2 Agustus 2017.

2.         PENGERTIAN
Pedoman pelaksanaan kompetisi gemilang DEMA Fakultas Syari’ah adalah merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Pelaksanaan lomba untuk setiap cabang dan golongan mata lomba.

3.         KETENTU UMUM
A.    Waktu dan Tempat
Tanggal           :
Waktu              : 08.00 Wib S/d 17.00 Wib.
Tempat            : Lt. 3 Aula gedung Fakultas Syari’ah Kampus IAIN Malikussaleh Lhokseumawe, Jl. Medan – B. Aceh, Alu Awe, Lhokseumawe.
B.     Pendaftaran
1.      Pendaftaran Tahap I, Dilaksanakan semenjak menerima surat undangan ini sampai dengan tanggal         dengan mengonfirmasikan keikutsertaannya melalui nomor HP .
2.      Pendaftaran Tahap II, Dilakukan pada saat peserta tiba dilokasi kegiatan dengan melengkapi semua berkas dan syarat-syarat yang berlaku bagi peserta yang tidak mendaftar pada tahap I pihak panitia berhak menolak.

C.    Peserta
1.      Peserta adalah siswa yang terdaftar di Sekolah yang bersangkutan.
2.      Batas umur maksimal peserta adalah 18 tahun, dibuktikan dengan akte kelahiran.      
3.      Peserta harus melengkapi persyaratan administrasi;
a.       Surat mandat (rekomendasi) dari Kepala Sekolah yang bersangkutan
b.         Foto Kopi Kartu Tanda Pelajar.
c.         Daftar Riwayat Hidup
d.         Foto copy Akte Kelahiran
h.         Pas foto ukuran 3 x 4 cm 2 lembar, salah satunya ditempelkan pada formulir.
4.      Seorang peserta hanya diperkenankan mengikuti 1 ( satu ) mata lomba.
5.      Setiap utusan didampingi oleh seorang pendamping.
6.      Maksimal setiap utusan adalah 4 orang peserta dan 1 orang pendamping.
4.           MATA LOMBA
                    Kegiatan Kompetisi Gemilang DEMA Fakultas Syari’ah terdiri dari 4 mata lomba :
1.    Musabaqah Tilawatil Qur’an.
2.    Musabaqah Tilawatil Qutub.
3.    Hafidz Qur’an
4.    Seni Lukis Al-qur’an ( Khat )

5.           KETENTUAN MATA LOMBA

A.   MUSABAQAH TILAWATIL QUR’AN
1.    Materi bacaan juz 1 sampai juz 10
2.    Maqra ( tempat bacaan ) di perbolehkan sesuai keinginan peserta.
3.    Peserta mengonfirmasikan Maqra pada saat pendaftaran tahap II.
4.    Waktu tampil maksimal 8 menit.

B.   MUSABAQAH TILAWATIL QUTUB
1.    Kitab yang diperlombakan adalah kitab BAJURI
2.    Materi bacaan yaitu Bab Tentang Shalat.
3.    Maqra ditentukan oleh dewan juri pada saat sebelum tampil.
4.    Kitab disediakan oleh panitia.
5.    Metode bacaan :
a.    Membaca baris ( Sharaf )
b.    Memaknai
c.    Surah/ menafsirkan makna yang dikandung dalam bacaan.
d.    Peserta akan diberikan 3 pertanyaan oleh dewan juri, mengenai ; Sharaf, Nahwu, dan kandungan Hukum.
e.    Waktu tampil maksimal 10 menit.

C.   HAFIDZ QUR’AN
1.    Materi bacaan Juz 30 ( yang diperlombakan hanyalah Juz 30 saja ).
2.    Metode bacaan :
a.    Maqra ditentukan oleh dewan juri.
b.    Peserta meneruskan bacaan yang dibacakan oleh dewan juri secara acak.
c.    Waktu tampil maksimal 7 menit.

D.   KHAT
1.    Jenis khat yang diperlombakan adalah khat sulus.
2.    Materi lukisan :
a.    Surah Al-fatihah.
b.    Ayat Kursi.
c.    Ayat seribu dinar.
3.    Seluruh keperluan untuk lomba disiapkan oleh peserta, panitia hanya menyediakan kertas ukuran A3.
4.    Peserta dapat menambahkan lukisan bingkai pada sisi lukisan.
5.    Boleh diwarnai ataupun tidak diwarnai.
6.    Waktu mengerjakan maksimal 3 jam, termasuk 2O Menit untuk istirahat.
7.    Penilaian adalah hasil akhir dari lukisan.

5.                 DEWAN JURI, SISTEM BABAK DAN PENGHARGAAN

a.            Dewan Juri
1.    Dewan Juri adalah orang yang ditunjuk oleh panitia untuk menilai serta memutuskan hasil.
2.    Dewan Juri yang ditunjuk adalah mereka yang mempunyai kompetensi dan propfesional dibidang masing-masing mata lomba.
3.    Setiap keputusan Dewan Juri adalah Sah sesuai musyawarah Dewan Juri, dan tidak dapat diganggu gugat.

b.            Sistem Babak
Semua mata lomba menggunakan sistem babak gugur, yang artinya hanya sekali tampil, peserta yang memperoleh nilai terbanyaklah yang akan menjadi pemenang.

c.            Penghargaan
1.    Juara 1 kategori Baca Al-qur’an.
2.    Juara 2 kategori Baca Al-qur’an.
3.    Juara 3 kategori Baca Al-qur’an.
4.    Juara 1 kategori Baca Kitab.
5.    Juara 2 kategori Baca Kitab.
6.    Juara 3 kategori Baca Kitab.
7.    Juara 1 kategori Hafidz.
8.    Juara 2 kategori Hafidz.
9.    Juara 3 kategori Hafidz.
10.   Juara 1 kategori khat.
11.  Juara 2 kategori khat.
12.  Juara 3 kategori Khat.
13.  Juara Umum; juara umum adalah sekolah dengan memperoleh poin juara terbanyak. Juara 1 sebanyak 3 poin, Juara 2 sebanyak 2 poin, dan Juara 3 sebanyak 1 poin.

Setiap pemenang akan mendapatkan Trophi Juara, sertifikat, dan Uang Binaan.

6.            SANKSI
a.    Setiap sekolah yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang telah ditetapkan tidak dapat diiukutsertakan dalam kegitan ini.
b.    Uang yang telah diserahkan tidak dapat dikembalikan lagi.
c.    Peserta yang telah dipanggil sebanyak 3 kali, apabila tidak hadir diaanggap gugur.
d.    Peserta tidak dibenarkan untuk datang terlambat.



7.            PENUTUP

Demikian Petunjuk Pelaksana ini dibuat agar dapat digunakan semesetinya, harapan kami mudah-mudahan kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar berkat dukungan dan kerja sama semua pihak.
Hormat Kami,

Panitia Pelaksana

Contoh Surat Permohonan Cerai Talak

Kepada Yth.                                                                                       Geudong,  02 November 2016
Ketua Mahkamah Syari’ah Lhoksukon
di_
Tempat
Perihal : Permohonan Cerai Talak

Assalamu’alaikum wr. wb. Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                            : Iskandar
Umur                             : 20 tahun
Agama                          : Islam
Pendidikan terakhir      : SMA
Pekerjaan                      : Karyawan Swasta
Tempat kediaman di : Jalan Malikussaleh, Dusun Timur, Desa Kuta Glumpang, Kecamatan Samdera, Kabupaten Aceh Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Dengan hormat, Pemohon mengajukan permohonan cerai terhadap istri saya:
Nama                            : Cut Anggraini Dewi Puspita Binti Sulaiman
 Umur                           : 18 tahun
 Agama                         : Islam
Pendidikan terakhir      : SMA
Pekerjaan                      : Karyawan Swasta
Tempat kediaman di    : Jalan Medan – B. Aceh, Gampong Blang Peuria Kecamatan Samudera  Kabupaten Aceh Utara.
Selanjutnya disebut sebagai Termohon.
 Adapun alasan/dalil – dalil permohonan Pemohon sebagai berikut :
1.         Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang melangsungkan pernikahan pada tanggal 20 Januari 2014 dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Samudera sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor : 1464/215/IV/2014, tanggal 20 Januari 2014.
2.         Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di Jalan Malikussaleh Dusun Timur Desa Kuta Glumpang selama 2 tahun 9 bulan dan selama  pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah rukun baik sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 1 orang anak yang bernama: Muhammad Ade Saini lahir pada tanggal 26 November 2016, anak tersebut dalam asuhan Pemohon dan Termohon.
3.         Bahwa pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam keadaan rukun, namun sejak bulan Februari tahun 2016  ketentraman rumah tangga Pemohon dengan Termohon mulai goyah, yaitu antara Pemohon dengan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain: Termohon tidak menghargai Pemohon sebagai seorang suami yang sah, yakni ia terlalu berani dan seringkali membantah perkataan Pemohon dalam rangka membina rumah tangga yang baik dan keluar rumah tanpa seizin Pemohon;
4.         Bahwa Perselisihan dan pertengkaran itu berkelanjutan terus-menerus sehingga akhirnya sejak tanggal 14 bulan Februari Tahun 2016 hingga sekarang selama kurang lebih 8 bulan 15 hari, Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena Pemohon telah pergi meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Pemohon bertempat tinggal di Jalan Malikussaleh Dusun Timur Kecamatan Samudera dan Termohon bertempat tinggal di Jalan Medan – B. Aceh Gampong Blang Peuria Kecamatan Samudera dan selama itu sudah tidak ada hubungan lagi;
5.         Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tersebut mengakibatkan rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak ada kebahagiaan lahir dan batin dan tidak ada harapan untuk kembali membina rumah tangga;
6.         Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon namun tidak berhasil.
7.         Bahwa atas dasar uraian diatas permohonan Pemohon telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.1 tahun 1974 Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 116.
8.         Bahwa Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini. Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua Mahkamah Syari’ah Lhoksukon segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :
PRIMER Mengabulkan permohonan Pemohon; Memberikan ijin kepada Pemohon Saifurrazi Bin Sahibuddin untuk menjatuhkan talak tiga kepada Cut Anggraini Dewi Puspita Binti Sulaiman di hadapan sidang Mahkamah Syari’ah Lhoksukon serta Membebankan biaya perkara menurut Hukum;
SUBSIDER Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya.
 Demikian atas terkabulnya permohonan ini, Pemohon menyampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Termohon,                                                                   Pemohon,


( Cut Anggraini Dewi Puspita )                                         (Iskandar )

Makalah Pendidikan Agama Islam Tentang Pembentukan Akhlak

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Akhir-akhi ini banyak kejanggalan-kejanggalan dalam masyarakat akibat perilaku manusia itu sendiri yang mana hal itu bersangkutan dengan etika, moral, dan akhlak.  Tiga hal tersebut sangat mempengaruhi kepribadian seseorang ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Ada berbagai faktor yang menyebabkan suatu perilaku seseorang menjadi beretika buruk, bermoral buruk, dan berakhlak tidak baik pula. Salah satu diantaranya adalah lingkungan dan keluarga. Banyak kasus yang terjadi yang mengorbankan semua pihak tanpa memandang usia, jenis kelamian, dll.
Anak sebagai salah satu korban sekaligus pelaku yang tidak jarang ditemui dalam implementasi sehari-hari. Anak sebagai generasi penerus harus dijaga, dididik, dan diisi fitrahnya dengan akhlak karimah, iman, dan amal saleh. Anak pada jaman sekarang banyak yang menjadi korban dan pelaku dari etika, moral, dan akhlak yang buruk.Hal ini harus dibenahi dan diwujudkan suatu akhlak karimah. Oleh karena itu pemakalah akan menuliskan beberapa hal tentang proses, metode, dan factor yang pempengaruhi pembentukan akhlak yang dikutip dari beberapa referensi.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana proses pembentukan akhlak ?
2.      Bagaimana metode pembentukan akhlak?
3.      Apa faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak ?

C.    TUJUAN PERMASALAHAN
1.      Untuk mengetahui proses pembentukan akhlak
2.      Untuk mengetahui metode pembentukan akhlak
3.      Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi pembentukan akhlak
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Pembentukan Akhlak
       Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam.[1]
              Menurut sebagian ahli, akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir.[2] Selanjutnya pendapat lain mengatakan, akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.[3] IbnuMiskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kelompok yang mengatakan akhlak adalah hasil usaha (Muktasabahah).
        Pada kenyataanya dilapangan, usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dengan berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini mnunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada orang tua, saying kepada sesame makhluk Tuhan dan seterusnya. Bayangkan saja jika anak-anak tidak dibina dalam hal akhlak?. Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan dibidang iptek.
        Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk pribadi, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlaka dalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada pada diri manusia, termasuk didalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

B.     Metode Pembentukan Akhlak
        Dalam buku Daur Al-Bait fi Tarbiyahath-Thifl Al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak kedalam 5 bagian, di antaranya adalah :[4]
a.       Keteladanan
        Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan selalu menuntut ikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur.
b.      Dengan memberikan tuntunan
        Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hokuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Qur’an dan Sunnah.
c.       Dengan kisah-kisah sejarah
    Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak.
d.      Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah)
Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya.
e.       Memupuk hati nurani
Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk.
Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :[5]
a.       Dengan pembiasaan
Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau member kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu.
b.      Denganpembentukanpengertian, minatdansikap
c.       Pembentukankerohanian yang luhur

C.    Factor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Untuk menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang amat popular. Pertama aliran natifisme. Kedua, aliran empirisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dll.
Menurut aliran empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan social, termasuk pendidikan dan pembinaan yang diberikan.
Selanjutnya pada aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh factor internal, yaitu pembawaan si anak, dan factor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dimuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social.
Aliran yang ketiga ini tampak sesuai dengan ajaran islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat berikut:
والله اخرجكم من بطون امهتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والابصر والافئدة لعلكم تشكرون.

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia member kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl, 16: 78).
       Dengan demikian factor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada anak ada dua, yaitu dari dalam merupakan potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa anak sejak lahir, dan factor dari luar yang dalam hal ini adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolah, dan tokoh-tokoh serta pemimpin dimasyarakat. Melalui kerjasama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut, melalui aspek kognitif (pengetahuan), afektif (penghayatan) dan psikomotorik (pengamalan) ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
        Pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk pribadi, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.
        Dalambuku Daur Al-Bait fi Tarbiyahath-Thifl Al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak kedalam 5 bagian, di antaranya; keteladanan, dengan memberikan tuntunan, dengan kisah-kisah sejarah, memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (padaallah), dan memupuk hati nurani.
       Faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada anak ada dua, yaitu dari dalam merupakan potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa anak sejak lahir, dan factor dari luar yang dalam hal ini adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolah, dan tokoh-tokoh serta pemimpin dimasyarakat.

B.     Saran
       Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



[1]Muhammad Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasarPokokPendidikan Islam, (Jakarta: BulanBintang, 1974), cet. II, hal. 15.
[2]Mansur Ali Rajab, Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlaq, (Mesir: Maktabah al-Anjali al-Mishriyah, 1961), hal. 91.
[3] Mansur Ali Rajab, Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlaq, (Mesir: Maktabah al-Anjali al-Mishriyah, 1961), hal. 90.
[4]Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyahath-Thifl al-Muslim, terj. IbnuBurdah, “MenumbuhkanSikapSosial, Moral dan Spiritual AnakdalamKeluarga Muslim, (Yogyakarta :MitraPustaka, 1998), hal. 85-95.
[5]Ahmad D. Marimba, PengantarFilsafatPendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), hal. 76-81.

Mahar Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Aceh

Budaya materialistis yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Aceh telah membentuk sebuah kultur adat yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Anehnya kultur tersebut sengaja terus dilestarikan tanpa ada upaya untuk mengkaji ulang. Sebagai contoh, mas kawin (mahar) di Aceh sekian lama telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar pemuda Aceh yang sudah sampai pada fase nikah. Tingginya jumlah mas kawin telah menyebabkan seringnya niat menikah dari pemuda kita menjadi tertunda-tunda atau bahkan mungkin gagal sama sekali, dan pada akhirnya berujung kepada seringnya terjadi berbagai kerusakan dan kemaksiatan.
Fakta bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mas kawin yang terbilang fantastis dan cukup tinggi adalah hal yang tak terbantahkan, padahal mayoritas masyarakat kita didominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah/miskin. Anehnya pola pikir seperti ini oleh sebagian besar pihak mempelai wanita dianggap sebagai sebuah kemestian karena keberhasilannya nanti akan menjadi prestise dan prestasi keluarga. Pada akhirnya fakta tersebut telah membentuk sebuah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita yang cenderung apatis memikirkan urusan pernikahan, paradigma berpikir seperti ini menyebabkan penundaan atau terhambatnya pelaksanaan hal tersebut. Padahal dalam Islam pernikahan adalah hal yang sangat urgen dan mesti disegerakan, karena ia menjadi salah satu kunci ketenangan hati dan kedamaian pikiran. Disamping itu, pernikahan juga merupakan kunci untuk menutupi pintu-pintu kemaksiatan
Meskipun pada faktanya budaya materialistis dan pragmatis sudah sangat rawan menjangkiti masyarakat Aceh, namun demikian disini penulis tidak bermaksud menjustifikasi pihak mempelai wanita dalam kasus ini, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat, bukan anjuran syariat. Bahkan saya melihat bahwa adat tingginya jumlah mas kawin di Aceh cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Namun demikian panulis tidak bermaksud agar jumlah mas kawin tersebut diberikan patokan dengan standar yang minimum, jika pihak mempelai laki-laki sanggup memberikan mas kawin dalam jumlah yang maksimum ya silahkan, bukankah itu juga sebuah kebaikan? Namun, pemberian mas kawin dengan jumlah yang maksimum jangan menjadi sebuah adat, karena realitas kita lihat masyarakat Aceh dominannya adalah masyarakat miskin.
Satu sisi, adat tingginya jumlah mas kawin memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu komoditi pasar yang kompetitif dimana hal tersebut akan memotivasi para pemuda Aceh untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Mereka akan mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga. Namun disisi yang lain jelas bahwa mafasid atau kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari kemaslahatan tadi. Islam mengajarkan kita agar tidak membiarkan pintu kemaksiatan terbuka, bahkan Islam memerintahkan kita untuk menutupi potensi semua pintu kemaksiatan yang bisa ditimbulkan.
Ketika adat tadi menjadi faktor penghalang niat seseorang untuk menikah, itu artinya adat tersebut telah membiarkan pintu kemaksiatan terbuka. Hal ini bisa berakibat fatal dengan rusaknya tatanan masyarakat bersyari’at yang sedang dibangun, misalnya, bertambahnya wanita-wanita yang memasuki usia tua tanpa sempat menikah yang berujung pada seringnya terjadi berbagai fitnah, rawannya pacaran dan perzinaan (free sex), kasus-kasus khalwat yang sering kita dengar, ini adalah fenomena yang bisa kita lihat lansung saat ini.
Maka dari itu, diperlukan keberanian dari kedua mempelai dan keluarganya untuk mendobrak adat mas kawin tersebut tanpa ada perasaan takut dengan hukuman adat yang akan menerpanya. Misalnya; malu sama tetangga atau teman-teman, atau contoh hukuman adat yang lain seperti minimnya perolehan dukungan dari keluarga dan kerabat disebabkan patokan jumlah mas kawin yang bisa atau mudah dijangkau oleh pihak mempelai laki-laki –meskipun dia berasal dari masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah sekalipun.
Saya kira, patokan tingginya jumlah mas kawin di Aceh juga bukan bukti pemuliaan terhadap wanita, karena dalam Islam disebutkan, bahwa wanita yang baik dan mulia adalah yang meminta mas kawin sedikit meskipun dikasih banyak, dan sebaliknya laki-laki yang baik adalah yang memberi banyak meskipun diminta sedikit. Terhadap argument yang sering penulis dengar, bahwa tngginya nilai mas kawin akan bisa meminimalisr terjadinya kasus-kasu perceraian, saya kira argument ini kurang tepat.
Menurut hemat penulis, penyebab terjadinya perceraian lebih tergantung kepada sosok individu-individu yang bersangkutan, misalnya disebabkan karena kurang intensnya komunikasi individu-individu tersebut dengan Tuhan Sang Pencipta, atau kurang bagusnya manajemen pengelolaan konflik dalam keluarga, atau contoh yang lain misalnya seperti rendahnya etika dan moral yang dimiliki oleh salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam perceraian, saya pikir tidak ada sangkut pautnya antara kasus perceraian dengan nilai mas kawin.
Dari pemaparan ini penulis berharap MAA (Mejlis Adat Aceh) yang selama ini aktif melestarikan adat Aceh agar bisa memberikan peran sertanya yang signifikan dalam rangka menyelesaikan persoalan anak bangsa tersebut, sekaligus menjadi saham dan peran serta kita dihadapan Allah kelak dalam upaya penegakan syari’at secara totalitas di Nanggroe Aceh Darussalam ini. Atau mungkin dengan realitas berbagai sisi negative/mafasid dari adat tingginya jumlah mas kawin tersebut haruskah ia tetap terus dilesatarikan? Adakah adat itu sebuah aksioma yang seorang pun tidak boleh menggugat? Ataukah mungkin adat tersebut adalah laksana patung pahatan leluhur kita yang tidak bisa disentuh untuk direkon kembali? Wallahu a’lam
Islam dan Mas kawin
Dalam Islam, mas kawin merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dalil wajibnya mas kawin ditunjukkan antara lain dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 4, “Berikanlah mas kawin kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”. Dan Rasulullah sebagai unsur yang menjalankan fungsinya sebagai mutabayyin (orang yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an) menjelaskan etika pemberian mas kawin ini dalam satu hadist riwayat Abu Dawud, bahwa “Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling ringan.” Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa, “pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah mas kawinnya” (HR. Ahmad).
Sahabat Rasulullah Umar bin Khatab juga pernah menasihati para sahabat yang lain, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mas kawin para wanita, karena kalau mas kawin itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah SWT, tentunya Rasulullah SAW lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud).
Maka, menjadi tugas bagi kita semua, khususnya MAA untuk menghadirkan solusi serta merubah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita tersebut agar tidak lagi memandang mas kawin sebagai momok yang menghambat dan menghalangi niat mereka untuk nikah, disamping itu tentunya kita juga berharap kesadaran dari pihak mempelai wanita untuk bisa melihat persolan yang sangat substantif ini secara lebih dalam, sesusi dengan perspektif Islam. Karena dalam Islam, bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an-pun dapat dijadikan mas kawin, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad.
Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mas kawin, sebagaimana mas kawin Ummu Sulaim ketika menikah dengan Abu Thalhah. Ini semua adalah kemudahan-kemudahan yang ada dalam Islam, dan hal ini sangatlah wajar mengingat Islam adalah Agama yang memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap pemeluknya. “Permudahkan, jangn persulit!!” pesan Rasul. Wallahu a’lam bis-shawab.