Jumat, 04 Agustus 2017

Mahar Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Aceh

Budaya materialistis yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Aceh telah membentuk sebuah kultur adat yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Anehnya kultur tersebut sengaja terus dilestarikan tanpa ada upaya untuk mengkaji ulang. Sebagai contoh, mas kawin (mahar) di Aceh sekian lama telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar pemuda Aceh yang sudah sampai pada fase nikah. Tingginya jumlah mas kawin telah menyebabkan seringnya niat menikah dari pemuda kita menjadi tertunda-tunda atau bahkan mungkin gagal sama sekali, dan pada akhirnya berujung kepada seringnya terjadi berbagai kerusakan dan kemaksiatan.
Fakta bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mas kawin yang terbilang fantastis dan cukup tinggi adalah hal yang tak terbantahkan, padahal mayoritas masyarakat kita didominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah/miskin. Anehnya pola pikir seperti ini oleh sebagian besar pihak mempelai wanita dianggap sebagai sebuah kemestian karena keberhasilannya nanti akan menjadi prestise dan prestasi keluarga. Pada akhirnya fakta tersebut telah membentuk sebuah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita yang cenderung apatis memikirkan urusan pernikahan, paradigma berpikir seperti ini menyebabkan penundaan atau terhambatnya pelaksanaan hal tersebut. Padahal dalam Islam pernikahan adalah hal yang sangat urgen dan mesti disegerakan, karena ia menjadi salah satu kunci ketenangan hati dan kedamaian pikiran. Disamping itu, pernikahan juga merupakan kunci untuk menutupi pintu-pintu kemaksiatan
Meskipun pada faktanya budaya materialistis dan pragmatis sudah sangat rawan menjangkiti masyarakat Aceh, namun demikian disini penulis tidak bermaksud menjustifikasi pihak mempelai wanita dalam kasus ini, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat, bukan anjuran syariat. Bahkan saya melihat bahwa adat tingginya jumlah mas kawin di Aceh cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Namun demikian panulis tidak bermaksud agar jumlah mas kawin tersebut diberikan patokan dengan standar yang minimum, jika pihak mempelai laki-laki sanggup memberikan mas kawin dalam jumlah yang maksimum ya silahkan, bukankah itu juga sebuah kebaikan? Namun, pemberian mas kawin dengan jumlah yang maksimum jangan menjadi sebuah adat, karena realitas kita lihat masyarakat Aceh dominannya adalah masyarakat miskin.
Satu sisi, adat tingginya jumlah mas kawin memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu komoditi pasar yang kompetitif dimana hal tersebut akan memotivasi para pemuda Aceh untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Mereka akan mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga. Namun disisi yang lain jelas bahwa mafasid atau kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari kemaslahatan tadi. Islam mengajarkan kita agar tidak membiarkan pintu kemaksiatan terbuka, bahkan Islam memerintahkan kita untuk menutupi potensi semua pintu kemaksiatan yang bisa ditimbulkan.
Ketika adat tadi menjadi faktor penghalang niat seseorang untuk menikah, itu artinya adat tersebut telah membiarkan pintu kemaksiatan terbuka. Hal ini bisa berakibat fatal dengan rusaknya tatanan masyarakat bersyari’at yang sedang dibangun, misalnya, bertambahnya wanita-wanita yang memasuki usia tua tanpa sempat menikah yang berujung pada seringnya terjadi berbagai fitnah, rawannya pacaran dan perzinaan (free sex), kasus-kasus khalwat yang sering kita dengar, ini adalah fenomena yang bisa kita lihat lansung saat ini.
Maka dari itu, diperlukan keberanian dari kedua mempelai dan keluarganya untuk mendobrak adat mas kawin tersebut tanpa ada perasaan takut dengan hukuman adat yang akan menerpanya. Misalnya; malu sama tetangga atau teman-teman, atau contoh hukuman adat yang lain seperti minimnya perolehan dukungan dari keluarga dan kerabat disebabkan patokan jumlah mas kawin yang bisa atau mudah dijangkau oleh pihak mempelai laki-laki –meskipun dia berasal dari masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah sekalipun.
Saya kira, patokan tingginya jumlah mas kawin di Aceh juga bukan bukti pemuliaan terhadap wanita, karena dalam Islam disebutkan, bahwa wanita yang baik dan mulia adalah yang meminta mas kawin sedikit meskipun dikasih banyak, dan sebaliknya laki-laki yang baik adalah yang memberi banyak meskipun diminta sedikit. Terhadap argument yang sering penulis dengar, bahwa tngginya nilai mas kawin akan bisa meminimalisr terjadinya kasus-kasu perceraian, saya kira argument ini kurang tepat.
Menurut hemat penulis, penyebab terjadinya perceraian lebih tergantung kepada sosok individu-individu yang bersangkutan, misalnya disebabkan karena kurang intensnya komunikasi individu-individu tersebut dengan Tuhan Sang Pencipta, atau kurang bagusnya manajemen pengelolaan konflik dalam keluarga, atau contoh yang lain misalnya seperti rendahnya etika dan moral yang dimiliki oleh salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam perceraian, saya pikir tidak ada sangkut pautnya antara kasus perceraian dengan nilai mas kawin.
Dari pemaparan ini penulis berharap MAA (Mejlis Adat Aceh) yang selama ini aktif melestarikan adat Aceh agar bisa memberikan peran sertanya yang signifikan dalam rangka menyelesaikan persoalan anak bangsa tersebut, sekaligus menjadi saham dan peran serta kita dihadapan Allah kelak dalam upaya penegakan syari’at secara totalitas di Nanggroe Aceh Darussalam ini. Atau mungkin dengan realitas berbagai sisi negative/mafasid dari adat tingginya jumlah mas kawin tersebut haruskah ia tetap terus dilesatarikan? Adakah adat itu sebuah aksioma yang seorang pun tidak boleh menggugat? Ataukah mungkin adat tersebut adalah laksana patung pahatan leluhur kita yang tidak bisa disentuh untuk direkon kembali? Wallahu a’lam
Islam dan Mas kawin
Dalam Islam, mas kawin merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dalil wajibnya mas kawin ditunjukkan antara lain dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 4, “Berikanlah mas kawin kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”. Dan Rasulullah sebagai unsur yang menjalankan fungsinya sebagai mutabayyin (orang yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an) menjelaskan etika pemberian mas kawin ini dalam satu hadist riwayat Abu Dawud, bahwa “Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling ringan.” Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa, “pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah mas kawinnya” (HR. Ahmad).
Sahabat Rasulullah Umar bin Khatab juga pernah menasihati para sahabat yang lain, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mas kawin para wanita, karena kalau mas kawin itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah SWT, tentunya Rasulullah SAW lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud).
Maka, menjadi tugas bagi kita semua, khususnya MAA untuk menghadirkan solusi serta merubah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita tersebut agar tidak lagi memandang mas kawin sebagai momok yang menghambat dan menghalangi niat mereka untuk nikah, disamping itu tentunya kita juga berharap kesadaran dari pihak mempelai wanita untuk bisa melihat persolan yang sangat substantif ini secara lebih dalam, sesusi dengan perspektif Islam. Karena dalam Islam, bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an-pun dapat dijadikan mas kawin, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad.
Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mas kawin, sebagaimana mas kawin Ummu Sulaim ketika menikah dengan Abu Thalhah. Ini semua adalah kemudahan-kemudahan yang ada dalam Islam, dan hal ini sangatlah wajar mengingat Islam adalah Agama yang memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap pemeluknya. “Permudahkan, jangn persulit!!” pesan Rasul. Wallahu a’lam bis-shawab.


Contoh Laporan Hasil Praktek Ilmu Falaq

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan Rahmat serta anugerahnya, shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa ummatnya  dari zaman kejahiliahan  menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Dengan selesainya laporan ini, tidak lupa pula peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, motivasi, kritik, serta saran, demi terselainya laporan ini .
Peneliti sepenuhnya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dapat menjadi motivasi untuk lebih baik dalam berkarya. Semoga ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh, 13 Juni 2017    
                                                                                          Penulis         






LANGKAH AWAL YANG DIPERLUKAN DALAM PRAKTEK LAPANGAN
I.                   Pendahuluan
Ada beberapa langkah yang harus diketahui dalam melakukan tahap awal sebuah praktek lapangan, dan juga harus jelas mengetahui serta memahami langkah-langkah awal dalam mempersiapkan kelengkapan dari alat-alat yang digunakan, dan juga harus mengetahui dengan jelas istilah-istilah yang digunakan oleh para ahli ilmu falaq dalam penelitiannya yang berkaitan dengan hal tersebut. Serta diperlukannya suatu praktek untuk dapat melakukan suatu penyelesaian mengenai hal yang ingin diteliti.
II.                Praktek Lapangan
Praktek lapangan merupakan suatu langkah awal yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara menentukan jumlah atau arah dan cara untuk menentukan waktu dari suatu permasalahan yang ingin diketahui dengan cara memiliki kesiapan alat untuk menentukan suatu permasalahan yang berkaitan, misalnya sebuah lapangan yang akan didirikan bangunan.
            Dari pengartian di atas maka dapat diketahui bahwa terdapat analisis atau pemahaman yang berbeda dari praktek yang dilakukan nantinya.
III.             Kesiapan Alat Yang Diperlukan
Alat alat yang diperlukan diantaranya adalah:
v  Teorolit (tripot)
v  Filter
v  Paku
v  Palu
v  Benang
v  Meteran
v  Kalkulator
v  Filter matahari
IV.             Langkah-Langkah Untuk Menggunakan Kesiapan Alat
Langkah pertama : mengetahui alat-alat yang diperlukan.
Langkah kedua : mengetahui cara memasang teorolit dengan cara yang aman dan tepat.
Langkah ketiga : membuka data melalui beberapa cara, di antaranya yaitu:
1.      Mengambil filter matahari, dan memasangkannya di kaca keteorolit dengan cara melihat langsung sambil memegang sendiri filter tersebut. Jika filter dipegang oleh orang lain akan sedikit berbahaya sebab yang memegang dengan yang melihat belum tentu searah ketika melakukannya.
2.      menggunci teorolit arah vertical dan arah horizontal ketika telah mendapatkan azimuth matahari pada bulatannya. Dengan melihat jam (oleh orang yang lain).
3.      Menghidupkan dan menekankan ocep diawali dari 00.
4.      Menggunakan kalkulator untuk menghitung lingkaran bujur, azimuth dan matahari hingga mendapatkan hasilnya.
5.      Kemudian kembali menekan 00 untuk menemukan azimuth kiblatnya.
6.      Menekan ocep lagi untuk menemukan siku-siku lapangan .




MENENTUKAN HILAL AWAL BULAN RA’JAB
A.    Pengertian
Hilal merupakan tanda-tanda awal untuk menentukan pergantian dari sebuah bulan, misalnya dalam menentukan awal hilal dari bulan ra’jab. Dari pengertian tersebut maka cara menentukan hilal awal bulan ra’jab dengan menggunakan kesediaan alat yang telah dijelaskan diatas. Sampai detik ini mungkin iyu adalah alat yang paling akurat yang bisa digunakan. Dengan langkah-langkah yang telah diketahui. Rukyatul hilal berfungsi sebagai pembuktian dari hisab, dan hisab digunakan untuk menentukan awal bulan dengan perhitungan  hijriah.
Untuk mengetahui awal bulan tersebut diawali dengan pukul berapa dan berapa derajat yang didapat melalui proses yang telah diketahui. Serta penglihatan waktu yang tepat saat mulai awal hilal ,hilal dapat dilihat apabila kondisi hari dalam keadaan cerah dengan beberapa derajat tertentu, misalnya pada tanggal 26 maret 2017 tidak terlihatnya hilal dikarnakan cuaca awan yang terlalu tebal dan mulai gelap.

MENENTUKAN HILAL AWAL BULAN SYA’BAN
Untuk menentukan pergantian dari bulan ra’jab sampai bulan sya’ban dapat dilihat dengan diawali adanya hilal pergantian bulan. Untuk menghitung dan untuk dapat mengetahui hilal tersebut, tempat yang paling mudah didatangi untuk melihat hilal tersebut salah satunya yaitu DI KOMPLEKS PT.ARUN, sebab disana merupakan tempat yang biasa digunakan oleh MPU untuk melihat hilal. Tempat tersebut merupakan salah satu tempat yang dapat digunakan untuk melihat dengan jelas adanya hilal pada saat awal datangnya bahkan dengan mata telanjang.
Seperti yang telah dipraktekkan langsung pada awal bulan sya’ban kemarin pada tanggal 26 april 2017,  pada waktu itu hilal terlihat pada waktu sebelum magrib atau qabla magrib bahkan bertepatan dengan datangnya magrib, hilal tersebut terlihat seperti bulan sabit yang melengkung diperbatasannya.

MENENTUKAN HILAL AWAL BULAN RAMADHAN
Seiring berjalan waktu, bulan sya’banpun berlalu  menuju bulan ramadhan maka diperlukan pula untuk melakukan suatu penelitian untuk melihat adanya hilal  pada bulan ramadhan. Seperti yang telah dipraktekkan pada tanggal 26 mei 2017, hilal awal bulan ramadhan pada ketika itu tidak terlihat dikarenakan cuaca sebelumnya hujan di daerah tersebut dansekitarnya, dan ba’da magribpun cuaca dalam keadaan hujan, jadi hilal pada awal bulan ramadhan pada waktu tersebut tidak terlihat karena terpengaruhi oleh cuaca.

PENGUKURAN ARAH BANGUNAN SESUAI DENGAN ARAH KIBLAT
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menentukan arah kiblat suatu bangunan untuk sesuai dengan posisi lurus dengan Ka`bah dan Makkah. Dengan cara menggunakan perhitungan matematis menggunakan rumus segitiga bola dengan mengetahui terlebih dahulu koordinat Lintang dan Bujur, baik Ka`bah maupun lokasi yang akan diukur.
Ada pula cara yang dinilai lebih gampang yaitu berpatokan kepada bayang-bayang yang dihasilkan matahari pada peristiwa yang dikenal dengan rashdul qiblat. Pada saat itu posisi matahari tepat di atas Ka`bah sehingga seluruh bayangan tegak lurus akan mengarah ke arah Baitullah. Ada dua cara untuk menentukan arah kiblat ketika matahari melintas persis di atas Ka`bah. Pertama, dilakukan di dalam masjid atau mushalla yang terdapat jendela dibagian mihrabnya. Bila cahaya masuk melalui jendela mihrab segaris dengan kiblat masjid atau mushalla, maka artinya kiblat masjid tersebut telah tepat. Kedua, dilakukan diluar ruangan yang memungkinkan kontak langsung dengan cahaya matahari. Yang dibutuhkan adalah bayangan dari benda tegak lurus saat rashdul kiblat berlangsung.
Yang mesti diperhatikan sebelum melakukan itu yaitu, siapkan jan atau arloji yang sudah sudah dikalibrasi waktunya dengan internet. Juga bahan-bahan lain sperti spidol, penggaris, atau sejenisnya untuk menandai arah kiblat begitu rashdul qiblat berlangsung.














KESIMPULAN
Untuk melakukan sebuah praktek suapaya, mendapatkan hasil yang maksimal maka sangat penting untuk mengetahui dan memahami serta melengkapi segala keperluan dan kesiapan alat. Tidak kalah penting juga kita harus mamahami dan mengetahui langkah-langkah serta penggunaan alat secara tepat dan aman.
Dalam suatu praktek, pemilihan tempat yang tepat merupakan salah satu cara yang bagus dan konsisten untuk dapat melihat hilal dengan baik, serta cuaca juga sangat menjadi pendorong yang sangat penting dalam melihat hila sebab nampak atau tidaknya suatu hilal pada awal  bulan-bulan tertentu itu tergantung kepada keadaan cuaca.
Terjadinya hilal dikarenakan perputaran rotasi pada porosnya dan juga disebabkan oleh revolusi, maka seiring pergantian malam dan hari terjadinya  proses perhitungan yang diperoleh, maka pada saat itu hilal awal bulan mulai dapat dilihat.
Pada penentuan hilal awal bulan ra`jab, tidak terlihat hilal dikarenakan cuaca yang mendung dan gelap. Pada penentuan hilal awal bulan sya`ban, hilal tersebut terlihat seperti bulan sabit yang melengkung diperbatasannya. Pada penentuan hilal awal bulan Ramadhan, tidak terlihat adanya hilal, maka terjadilah perbedaan pendapat tentang datangnya awal bulan Ramadhan dikarenakan perbedaan pemahaman.






Makalah Aliran Sosiologi Dalam Kriminologi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Filsafat hukum menurut Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto (1979:2) mengatakan “ Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai- nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan:. Alam berfikir hukum adalah berfikir khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui dalam cara-cara berfikir yang lain. Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat.
Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang Ilmu Sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte. Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa. Disadari bahwa hukum merupakan salah satu dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia dan yang tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi suatu makhluk yang sangat berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan , yang di dalamnya hukum, ditelaah dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan manusia. Pemikiran tentang hukum telah berkembang sepanjang sejarah umat manusia. Para filosof telah menegaskan betapa hukum adalah sesuatu yang buruk, yang menjadikan umat manusia akan melakukan dengan baik untuk mengendarai cirinya sendiri.
Perkembangan Kajian sosiologis di dalam kajian hukum itu, menimbulkan adanya dua jenis Kajian sosiologis : yang menggunakan sociology of law , dan yang menggunakan sociological jurisprudence . Aliran sosiologis mengemukakan cara yang bisa dikatakan sangat bertolak  belakang dengan cara positivisme hukum, yaitu mencoba melihat konteks, memfokuskan cara pandang hukum terhadap pola kelakuan/tingkah laku masyarakat, sehingga cenderung menolak aturan-aturan formal (yang dibuat oleh lembaga formal seperti DPR, dengan bentuk peraturan perundang-undangan). 
Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Dan untuk lebih lanjut lagi maka makalah ini membahas tentang Aliran sociological jurisprudence.
Dengan demikian dalam kajian ini, penulis akan menguraikan aliran filsafat hukum Diantara aliran atau mazhab tersebut yang akan dibahas disini adalah Sociological Jurisprudence.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian madzhab sosiologis hukum ?
2.      Bagaimana aliran sosiologi yurisprudensi dan apa perbedaan antara Sosiologi yurisprudensi dengan Sosiologi Hukum?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian madzhab sosiologi hukum.
2.      Untuk menngetahui perbedaan madzhab sosiologi hukum dengan madzhab sosiologi yurisprudensi.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aliran sosiologi yurisprudensi
Pendasar aliran ini, dipelopori oleh Roescoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini : “ Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat”.
Menurut Lilirasjidi, [1] Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.
Akan tetapi Romli Atmasasmita berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver Wendell Holmes (1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh terpenting dalam aliran Realisme Hukum.[2] Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di dalam masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.  Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.[3]
Dalam hal ini pemikiran dari dua tokoh aliran ini yang berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).[4]
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya, hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan :[5]
1. menemukan hukum
2. menafsirkan hukum
3. menerakan hukum
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada ditengah-tengah masyarakat untuk diangkat dan ditearpkan kedalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprdence titik pusat  perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound mengedepankan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat  dirumuskan sebagai berikut “ …. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan masyarkat, tuntutan, permintaan dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat….”[6] Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya “Fundamental Principles of the Sociology of Law (1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum dengan sebutan “Lawyer’s Law”. Sebutan sinis ini telah membuka mata para ahli para ahli hukum ketika itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep hukum dan penerepanya dalam masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para hakim yang hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich yang sangat terkenal sebagai pelopor aliran ini adalah “pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”.[7] Aliran sangat mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik perhatiannya kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan terhadap pendapat Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi tanpa bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam dan menuntun kepada kematian ilmu tersebut.[8]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup dimasyarakat termasuk didalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum.
No
Pembeda
Sociological Jurisprudence
The Sociology of Law
1
Kedudukan
Salah satu aliran dalam filsafat hukum
Cabang dari ilmu sosiologi
2
Metode pendekatan
dari hukum kepada masyarakat
dari masyarakat kepada hukum
3
Fokus kajian
hukum sebagai suatu konsep yang dapat dikembangkan sedemikian rupa untuk dijadikan alat rekayasa sosial. Law as a tool of social engineering. Hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat.
hubungan antara gejala-gejala kehidupan suatu kelompok masyarakat dengan hukum. Mempelajari hubungan antara manusia dengan objek kajian hukum.
4
Jenis sistem hukum yang dianut
Berkembang di Amerika Serikat, sehingga berkonotasi Common Law
Berkembang di Italia, sehingga berkonotasi eropa daratan atau Civil Law
5
Implikasi sistem hukum
Judge makes law
Hakim sebagai corong undang-undang
Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum dapat dibedakan antara yang menggunakan sociology of law sebagai kajiannya dan yang menggunakan sociological jurisprudence sebagai kajiannya. Sociology of law lahir dan berkembang di Italia dan pertama kali diperkenalkan oleh Anzilotti, sehingga berkonotasi Eropa Daratan. Sedangkan, sociological jurispredence lahir dan berkembang di Amerika Serikat, sehingga berkonotasi Anglo Saxon. Sociology of law merupakan sosiologi tentang hukum, karena itu ia merupakan cabang sosiologi. Di sisi lain, socilogical jurispredence adalah ilmu hukum sosiologi karena itu merupakan cabang ilmu hukum.[9]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam aliran Sociological Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan menyerap ekspektasi masyarakat. Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang didahulukan adalah kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan demikian hukum akan menjadi hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Jadi, aliran Sosiological Yuresprudence berkembang dan membahas tentang hukum yang ada di masyarakat. Hanya saja dalam aliran Sosiological Yurisprudence  membahas tentang hukum yang berkembang atau yang ada di masyarakat itu sendiri.








DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin , Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika) 2009
Atmasasmita,Romli , Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif , ( Yogyakarta: Genta Publishing) , 2012
http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum. Diunduh 20 Mei 2014
Pound,Roscoe , Pengantar Filsafat Hukum,( Jakarta: Bhratara Niaga Media), , 1996.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), (Jakarta: Rajawali Pers), 2012
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2006
Rasjidi, lili dan B. Arief Sidartha, Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: CV Remadja Karya), 1988







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………… .i
DAFTAR ISI……………………………………………………………..….ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang……………………………………………………….1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………………3
C.     Tujuan………………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Aliran Sosiologis Yurisprudensi……………………………………..4
B.     Perbedaan Sosiologis Yurisprudensi dengan Sosiologis Hukum...….9
BAB III PENUTUP                                                                                          
A.    Kesimpulan…………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………13



[1] . lili Rasjidi dan B. Arief Sidartha, Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya, Bandung: CV Remadja Karya, 1988, hlm.84
[2] . Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2012),hlm. 37
[3] . Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.61
[4] . http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum. Diunduh 20 Mei 2014
[5] . Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Niaga Media, Jakarta, 1996, hal 52

[6] . Ibid, hal 51
[7]. Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2012),hlm. 38
[8] . Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 303
[9] . Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm.119