Budaya
materialistis yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Aceh telah
membentuk sebuah kultur adat yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai
Islam. Anehnya kultur tersebut sengaja terus dilestarikan tanpa ada upaya untuk
mengkaji ulang. Sebagai contoh, mas kawin (mahar) di Aceh sekian lama telah
menjelma menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar pemuda Aceh yang sudah
sampai pada fase nikah. Tingginya jumlah mas kawin telah menyebabkan seringnya
niat menikah dari pemuda kita menjadi tertunda-tunda atau bahkan mungkin gagal
sama sekali, dan pada akhirnya berujung kepada seringnya terjadi berbagai
kerusakan dan kemaksiatan.
Fakta bahwa
sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mas kawin yang
terbilang fantastis dan cukup tinggi adalah hal yang tak terbantahkan, padahal
mayoritas masyarakat kita didominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas
bawah/miskin. Anehnya pola pikir seperti ini oleh sebagian besar pihak mempelai
wanita dianggap sebagai sebuah kemestian karena keberhasilannya nanti akan
menjadi prestise dan prestasi keluarga. Pada akhirnya fakta tersebut telah
membentuk sebuah paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita yang cenderung
apatis memikirkan urusan pernikahan, paradigma berpikir seperti ini menyebabkan
penundaan atau terhambatnya pelaksanaan hal tersebut. Padahal dalam Islam
pernikahan adalah hal yang sangat urgen dan mesti disegerakan, karena ia
menjadi salah satu kunci ketenangan hati dan kedamaian pikiran. Disamping itu,
pernikahan juga merupakan kunci untuk menutupi pintu-pintu kemaksiatan
Meskipun pada
faktanya budaya materialistis dan pragmatis sudah sangat rawan menjangkiti
masyarakat Aceh, namun demikian disini penulis tidak bermaksud menjustifikasi
pihak mempelai wanita dalam kasus ini, baik mempelainya ataupun orang tua
mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan
lain yang didominasi oleh pengaruh adat, bukan anjuran syariat. Bahkan saya
melihat bahwa adat tingginya jumlah mas kawin di Aceh cenderung jauh dari
tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Namun
demikian panulis tidak bermaksud agar jumlah mas kawin tersebut diberikan
patokan dengan standar yang minimum, jika pihak mempelai laki-laki sanggup
memberikan mas kawin dalam jumlah yang maksimum ya silahkan, bukankah itu juga
sebuah kebaikan? Namun, pemberian mas kawin dengan jumlah yang maksimum jangan
menjadi sebuah adat, karena realitas kita lihat masyarakat Aceh dominannya
adalah masyarakat miskin.
Satu sisi, adat
tingginya jumlah mas kawin memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi
suatu komoditi pasar yang kompetitif dimana hal tersebut akan memotivasi para
pemuda Aceh untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya.
Mereka akan mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya
dalam keluarga. Namun disisi yang lain jelas bahwa mafasid atau kerusakan yang
ditimbulkan lebih besar dari kemaslahatan tadi. Islam mengajarkan kita agar
tidak membiarkan pintu kemaksiatan terbuka, bahkan Islam memerintahkan kita
untuk menutupi potensi semua pintu kemaksiatan yang bisa ditimbulkan.
Ketika adat tadi
menjadi faktor penghalang niat seseorang untuk menikah, itu artinya adat
tersebut telah membiarkan pintu kemaksiatan terbuka. Hal ini bisa berakibat
fatal dengan rusaknya tatanan masyarakat bersyari’at yang sedang dibangun,
misalnya, bertambahnya wanita-wanita yang memasuki usia tua tanpa sempat
menikah yang berujung pada seringnya terjadi berbagai fitnah, rawannya pacaran
dan perzinaan (free sex), kasus-kasus khalwat yang sering kita dengar, ini
adalah fenomena yang bisa kita lihat lansung saat ini.
Maka dari itu,
diperlukan keberanian dari kedua mempelai dan keluarganya untuk mendobrak adat
mas kawin tersebut tanpa ada perasaan takut dengan hukuman adat yang akan
menerpanya. Misalnya; malu sama tetangga atau teman-teman, atau contoh hukuman
adat yang lain seperti minimnya perolehan dukungan dari keluarga dan kerabat
disebabkan patokan jumlah mas kawin yang bisa atau mudah dijangkau oleh pihak
mempelai laki-laki –meskipun dia berasal dari masyarakat kalangan ekonomi kelas
bawah sekalipun.
Saya kira, patokan
tingginya jumlah mas kawin di Aceh juga bukan bukti pemuliaan terhadap wanita,
karena dalam Islam disebutkan, bahwa wanita yang baik dan mulia adalah yang
meminta mas kawin sedikit meskipun dikasih banyak, dan sebaliknya laki-laki
yang baik adalah yang memberi banyak meskipun diminta sedikit. Terhadap
argument yang sering penulis dengar, bahwa tngginya nilai mas kawin akan bisa
meminimalisr terjadinya kasus-kasu perceraian, saya kira argument ini kurang
tepat.
Menurut hemat
penulis, penyebab terjadinya perceraian lebih tergantung kepada sosok
individu-individu yang bersangkutan, misalnya disebabkan karena kurang
intensnya komunikasi individu-individu tersebut dengan Tuhan Sang Pencipta,
atau kurang bagusnya manajemen pengelolaan konflik dalam keluarga, atau contoh
yang lain misalnya seperti rendahnya etika dan moral yang dimiliki oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam perceraian, saya pikir tidak
ada sangkut pautnya antara kasus perceraian dengan nilai mas kawin.
Dari pemaparan ini
penulis berharap MAA (Mejlis Adat Aceh) yang selama ini aktif melestarikan adat
Aceh agar bisa memberikan peran sertanya yang signifikan dalam rangka
menyelesaikan persoalan anak bangsa tersebut, sekaligus menjadi saham dan peran
serta kita dihadapan Allah kelak dalam upaya penegakan syari’at secara
totalitas di Nanggroe Aceh Darussalam ini. Atau mungkin dengan realitas
berbagai sisi negative/mafasid dari adat tingginya jumlah mas kawin tersebut
haruskah ia tetap terus dilesatarikan? Adakah adat itu sebuah aksioma yang
seorang pun tidak boleh menggugat? Ataukah mungkin adat tersebut adalah laksana
patung pahatan leluhur kita yang tidak bisa disentuh untuk direkon kembali?
Wallahu a’lam
Islam dan Mas
kawin
Dalam Islam, mas kawin merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dalil wajibnya mas kawin ditunjukkan antara lain dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 4, “Berikanlah mas kawin kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”. Dan Rasulullah sebagai unsur yang menjalankan fungsinya sebagai mutabayyin (orang yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an) menjelaskan etika pemberian mas kawin ini dalam satu hadist riwayat Abu Dawud, bahwa “Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling ringan.” Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa, “pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah mas kawinnya” (HR. Ahmad).
Dalam Islam, mas kawin merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dalil wajibnya mas kawin ditunjukkan antara lain dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 4, “Berikanlah mas kawin kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”. Dan Rasulullah sebagai unsur yang menjalankan fungsinya sebagai mutabayyin (orang yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an) menjelaskan etika pemberian mas kawin ini dalam satu hadist riwayat Abu Dawud, bahwa “Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling ringan.” Dalam hadist yang lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa, “pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah mas kawinnya” (HR. Ahmad).
Sahabat Rasulullah
Umar bin Khatab juga pernah menasihati para sahabat yang lain, “Janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mas kawin para wanita, karena kalau
mas kawin itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah
SWT, tentunya Rasulullah SAW lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat
demikian.” (HR. Abu Dawud).
Maka, menjadi tugas
bagi kita semua, khususnya MAA untuk menghadirkan solusi serta merubah
paradigma berpikir sebagian besar pemuda kita tersebut agar tidak lagi
memandang mas kawin sebagai momok yang menghambat dan menghalangi niat mereka
untuk nikah, disamping itu tentunya kita juga berharap kesadaran dari pihak
mempelai wanita untuk bisa melihat persolan yang sangat substantif ini secara
lebih dalam, sesusi dengan perspektif Islam. Karena dalam Islam, bahkan
mengajarkan surah-surah Al-Qur`an-pun dapat dijadikan mas kawin, sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad.
Seorang wanita
dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mas
kawin, sebagaimana mas kawin Ummu Sulaim ketika menikah dengan Abu Thalhah. Ini
semua adalah kemudahan-kemudahan yang ada dalam Islam, dan hal ini sangatlah
wajar mengingat Islam adalah Agama yang memiliki toleransi yang cukup tinggi
terhadap pemeluknya. “Permudahkan, jangn persulit!!” pesan Rasul. Wallahu a’lam
bis-shawab.