BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pernikahan
merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga merupakan
suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada
dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan
dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan
yang dapat berujung pada perceraian.
Islam
sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak
dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan
lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami
istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan
ketentuan agama, seingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu mencapai
kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi.
Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan
perpecajhan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian
dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan bailk
yang menimpa suami atau istri.
Namun
demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau cerai
mati (ditinggal mati), tidak boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain,
melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu
bagi wanita yang bercerai itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu
dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu wanita tersebut hamil
atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut masih sebagai anak dari
suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir
ulang’ bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika
ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka, mereka
bisa rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan
tentang talak, iddah, dan rujuk telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.
2. Rumusan
Masalah
a. Apa
pengertian talak ?
b. Apa
saja dasar hukum talak ?
c. Sebutkan
dan jelaskan macam-macam talak ?
d. Sebutkan
dan jelaskan rukun dan syarat talak ?
e. Jelaskan
bilangan talak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Talak
Talak
terambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau
meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu melepaskan perkawinan
dan mengakhiri hubungan suami istri.
Talak
adalah perceraian melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan
mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “
Engkau telah ku talak” dengan ucapan ini ikatan nikah itu telah menjadi lepas,
artinya suami istri telah menjadi bercerai.
Jadi,
talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga telah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal
talak ba’in. sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak
yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua , dari dua menjadi satu, dan dari
satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.
Langgengnya
kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang di
utamakan dalam iman. Akad nikah di adakan untuk selamanya dan seterusnya agar
suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat
berlindung.
Oleh
karna itu dapat di katakan bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang
paling suci dan kokoh dan tempat mencurahkan kasih sayang dan dapat memelihara
anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.
Begitu
kuat dan kokohnya hubungan antara suami istri maka tidak sepantasnya apabila
hubungan tersebut di rusak dan di sepelekan, setiap usaha untuk menyepelekan
hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karna ia
merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.
Sebuah hadist menjelaskan
bahwa meskipun talak itu halal tetapi sesungguhnya perbuatan itu di benci oleh
Allah SWT. Rasullullah SAW bersabda yang artinya:
“dari Ibnu Umar, bahwa
Rasullullah SAW. Bersabda: perbuatan halal yang di benci oleh Allah adalah
talak.”[1]
Siapapun yang merusak
hubungan antara suami istri dia tidak mempunyai tempat terhormat dalam islam.
Demikian dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi Saw Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda
“ bukan dari golongan kami seseorang yang merusak hubungan seseorang
perempuan dari suaminya.”
B. Dasar
Hukum Talak
1.
Q.S At-Thalaq Ayat 1:
َا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن
بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً -١
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
2.
Q.S At-Thalaq Ayat 2:
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢-
“Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar.”
3. Q.S
Al-Baqarah Ayat 231,
Artinya: “Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf
(pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah
kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
C. Macam-Macam
Talak
Secara
garis besar ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi
menjadi 2 macam yaitu:[2]
1.
Talak Raj’i
Yaitu
talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya. Setelah
itu di jatuhkan lafal-lafal tertentu dan istri benar benar sudah di gauli.
Jelasnya talak Raj’I adalah talak yang dijatukan suami kepada istrinya sebagai
talak atau talak dua. Allah berfirman:
Artinya:
“Istri-istri yang di
talak, hendaklah memelihara dirinya selama 3 Quru’. Mereka tidak halal
menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dala kandungan rahim mereka.
Jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat dan bekas suami mereka lebih
berhak kembali kepadanya dalam massa iddah itu jika mereka para suami itu
menghendaki ishlah” (surat Al-baqarah:228)
Yang termasuk dalam
kategori talak Raj’I adalah sebagai berikut:
a). Talak mati, tidak hamil
Allah berfirman dalam surat
Al-baqarah ayat 234 yang artinya:
“orang-orang yang
meninggalkan dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya”
b). Talak hidup dan hamil
Allah berfirman dalam surat
Ath-thalaq ayat 4 yang artinya:
“dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka iyu adalah sampai mereka mereka melahirkan
kandungannya”
c). Talak mati dan hamil
d). Talak hidup dan talak
hamil
e). Talak hidup dan belum
haid atau pun haid
2.
Talak Ba’in
Apabila
istri bersetatus talak ba’in, maka suami tidak boleh rujuk kepadanya, suami
boleh melaksanakan akad nikah baru kepada bekas istrinya itu dan membayar mahar
baru dengan mengunakan rukun dan syarat yang baru pula.
Fuqoha
sependapat bahwa talak ba’in terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami
istri karena adanya bilangan talak tertentu karena adanya penerimaan ganti pada
khulu’.
Talak ba’in ada dua macam
yaitu:
1). Talak ba’in sughra
ialah
talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak
menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya itu.
Talak
ba’in sughra begitu di ucapkan dapat memutuskan hubungan suami istri. Karena
ikatan perkawinannya telah putus maka istrinya kembali menjadi orang asing bagi
suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan itu
apalagi sampai mengaulinya dan jika salah satunya meninggal sebelum atau masih
iddah, maka yang lain tak mendapat memperoleh warisannya. Akan
tetapi, pihak perempuan masih berhak atas sisa pembayaran mahar yang tidak di
berikan secara kontan, sebelum di talak atau sebelum suami meninggal sesuai
yang telah dijanjikan.
Mantan suami boleh atau
berhak kembali kepada, mantan istri yang telah ditalak ba’in sughra adalah akad
nikah dan mahar baru. Selama ia belum menikah dengan laki-laki lain.
Adapun yang termasuk
kedalam bagian talakba’in sughra adalah:
a. Talak
karena fasakh yang di jatukan oleh hakim di pengadilan agama
b. Talak
pakai iwad (ganti rugi) atau talak tebus berupa khuluk
c. Talak
karena belum dikumpuli.[3]
Hukum talak bain shugra:
a. Hilangnya
ikatan nikah antara suami dan isteri
b. Hilangnya
hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
c. Masing-massing
tidak saling mewarisi manakala meninggal
d. Bekas
isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah
tempat tidur dan mendapat nafkah
e. Rujuk
dengan akat dan mahar yang baru
2). Talak ba’in kubra
yaitu
talak yang terjadi sampai 3x penuh dan tidak ada rujuk dalam massa iddah maupun
dalam nikah baru, kecuali kalau bekas istrinya telah nikah lagi dengan orang
lain dan telah berkumpul sebagai suami istri secara nyata dan sah. Adapun ayat
yang menjelaskannya terdapat dalam surat Al-baqarah ayat 230, yang artinya:
“kemudian jika suami
mentalaknya, sesudah talaknya yang ke dua maka perempuan itu tidak halal
baginya sampai dia kawin dengan suaminya yang lain”
Yang termasuk talak kubra
adalah sebagai berikut:[4]
a. Talak
li’an
Talak
li’an yaitu talak yang terjadi karena suaminya menuduh istrinya berbuaat zina
atau suaminya tidak mengakui anak yang ikandung oleh istrinya kemudian suaminya
bersumpah sampai lima kali dalam hal ini tidak hak untuk rujuk dan menikahinya
lagi.
b. Talak
tiga
Bagi istri yang ditalak 3x,
tidak ada rujuk untuk massa iddah. Mantan suami bisa kembali dengan pernikahan
baru apabila;
1. Mantan
istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain
2. Telah
digauli dengan suami yang kedua (suami baru)
3. Sudah
dicerai suami yang kedua
4. Telah
habis masa iddahnya
Hukum talak bain kubra:
1. Hilangnya
ikatan nikah antara suami dan isteri
2. Hilangnya
hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri
berdua-duaan)
3. Bekas
isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah
tempat tidur dan mendapat nafkah
4. Suami
haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah kawin dengan
laki-laki lain.
D. Rukun
dan Syarat Talak[5]
Beberapa
hal yang menjadi rukun talak dengan syarat-syaratnya antara lain sebagai
berikut:
1. Kata-kata
talak
Ulama
sepakat bahwa suatu talak dapat terjadi, apabila disertai dengan niat dan
menggunakan kata-kata yang tegas. Dan Jumhur Fuqaha telah sepakat bahwa
kata-kata talak itu ada 2 yaitu:[6]
1). Kata-kata
tegas (Sharih)
Kata-kata
talak yang sharih artinya lafal yang digunakan itu terus terang menyatakan
perceraian. Misalnya: suami berkata kepada istrinya “Engkau telah aku ceraikan”
atau “Aku telah menjatuhkan talak untukmu, “Engkau tertalak,”
2).
Kata-kata talak tidak tegas (sindiran)
Sindiran
artinya lafal yang tidak ditetapkan untuk perceraian, tetapi bisa berarti talak
dan lainnya. Misalnya, “Engkau terpisah kata ini bisa berarti pisah dari suami,
atau bisa juga pisah (terjauh) dari kejahatan atau kata-kata lain “perkaramu
ada ditanganmu sendiri terlepas dari suaminya dan bisa berarti istri berhak
membelanjakan hartanya”.
2. Orang
(suami) yang menjatuhkan talak
Suami
adalah orang yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain
suami tidak ada yang berhak menjatuhkan talak. Suami baru dapat menjatuhkan
talak kepada istrinya apabila telah melakukan akad nikah yang sah.
Ada
syarat yang harus dipenuhi oleh suami agar talak yang dijatuhkannya sah, yaitu:
a. Berakal
sehat, maka tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b. Dewasa
dan merdeka
c. Tidak
dipaksa
d. Tidak
senang mabuk
e. Tidak
main-main atau bergurau
f. Tidak
pelupa
g. Tidak
dalam keadaan bingung
h. Masih
ada hak untuk mentalak
3. Istri
yang dapat dijatuhi talak
Mengenai
istri-istri yang dapat ditajuhi talak, Fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
a. Perempuan
yang dinikahi dengan sah
b. Perempuan
yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah
c. Belum
habis masa iddahnya pada talak raj’i
d. Tidak
sedang haid atau suci yang dicampuri
E. Bilangan
Talak[7]
Orang
yang merdeka berhak mentalak istrinya dari satu sampai tiga kali talak. Talak
satu atau dua boleh rujuk kembali sebelum habis masa iddahnya dan boleh kawin
kembali sesudah iddah. Ketika seorang suami menjatuhkan talaq satu atau dua
pada istrinya, maka suami masih bisa untuk rujuk lagi dengan istrinya selama
masa iddahnya belum habis. Apabila masa iddahnya telah habis, diperbolehkan
bagi suaminya untuk menikahi mantan istrinya tersebut dengan melaksanakan akad
nikah baru, dengan ketentuan bahwa suami tinggal memiliki sisa talaq dari talaq
sebelumnya, maksudnya jika sebelumnya ia menceraikan istrinya dengan talaq
satu, maka ia masih memiliki dua talaq, dan bila ia menceraikan istrinya dengan
dua talaq, maka ia tinggal memiliki satu talaq lagi.
Ketentuan
bahwa suami tinggal memiliki sisa dari talaq yang telah dijatuhkan sebelumnya
tersebut berlaku bagi suami baik ia menikahi mantan istrinya setelah masa
iddahnya habis dan belum dinikahi laki-laki lain atau setelah istrinya dinikahi
oleh orang lain. Sebab keberadaan suami baru bagi mantan istrinya tidak
mempengaruhi jatah talaq suami pertama sebelum ia menuntaskan bilangan
talaqnya.
Hukum diatas berdasarkan
fatwa Umar bin Khothob sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodhiyAllahu
"anhuma:
سَأَلْتُ
عُمَرَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْبَحْرَيْنِ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَطْلِيقَةً
أَوْ تَطْلِيقَتَيْنِ، فَتَزَوَّجَتْ، ثُمَّ إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا، ثُمَّ
إِنَّ الْأَوَّلَ تَزَوَّجَهَا، عَلَى كَمْ هِيَ عِنْدَهُ؟ قَالَ: هِيَ عَلَى مَا
بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ
"Aku bertanya pada
Umar mengenai seorang lelaki dari Bahroin yang menceraikan istrinya dengan satu
atau dua talaq, Kemudian mantan istrinya menikah lagi, namun akhirnya bercerai.
Lalu suami yang pertama menikahinya lagi, berapakah (jatah talaq) wanita
tersebut bagi suaminya ?", beliau menjawab : "Wanita tersebut
memiliki sisa talaq (suami yang pertama)".
F. Hukum
Talak[8]
Stabilitas
rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adal tujuan utama adanya
perkawinan dan hal ini sangat diperhataikan oleh syariat islam. Meskipun suami
oleh hukum islam diberi menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami
menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan
hawa nafsunya untuk mentalak.
1. Makruh
Talak
yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat
(alasan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya
berjalan dengan baik.
2. Haram
Talak
yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i.
Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita.
dan terjadi pada dua keadaan:
1) Suami
menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam keadaan haid
2) Suami
menjatuhkan thalaq kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui
hamil/tidak.
3. Mubah
(boleh)
Talak
yang hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk
menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena
perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak
sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bersabar lebih baik. Allah
berfirman pada surah An-nisa ayat 19 yang artinya: “Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
4. Sunnah
Talak
yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya
serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun
sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai
suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti
ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman
firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 195 yang artinya:
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
5. Wajib
Talak
yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak
akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan) setelah masa penangguhannya selama
empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim
berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang
menjatuhkan thalak tersebut.
Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di
ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang
mewakilinya kecuali dengan di ucapkan dengannya, walaupun meniatkan dalam
hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya.” Berdasarkan
hadits Rasulullah yang artinya: “Sesunggunya Allah memaafkan dari
ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan
di ucapkan.” (HR. al-Bukhari: 5269 dan Muslim: 127)
G. Hikmah
atau sisi baik dari talak antara lain:
1. Sarana
untuk memilih pasangan hidup lebih baik dan harmonis
2. Bentuk
pengakuan islam akan realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin
berubah dan berganti.
3. Salah
satu obat sakit hati mental dan menghindari suami yang tidak menjalankan
kewajiban dengan baik.
4. Memberi
kebebasan untuk memilih sejauh yang dibolehkan oleh agama, serta menghindarkan
diri dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suami atau istri.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Adapun kesimpulan dalam
makalah ini adalah:
1. Talak
menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda
atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah.
2. Talak
menurut syara’ ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan
suami istri.
3. Talak
yang dijatuhkan oleh suami dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: orang yang menjatuhkan talak itu sudah mukallaf balig, dan berakal
sehat dan talak itu hendaknya dilakukan atas kemauan
Saran
Didalam
kehidupan kita sering kita mendengar kata talak dan iddah serta yang berkaitan
tentang itu, tetapi kebanyakan kita tidak mengetahui secara benar apa yang
dimaksud dengan talak. Untuk itu kami menyusun makalah ini agar dapat
memberikan pelajaran tentang talak supaya memahami dan pengetahuan dapat
bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. 1978. Fikih
Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Supriatna, dkk. 2008. Fiqih
Munakahat II. Yogyakarta: Bidang akademik UIN Sunan Kalijaga.
Nuroniyah,
Wardah, dkk. 2011. Hukum perkawinan islam di Indonesia. Yogyakarta:
Teras.
Nur, Djamaan. 1993. Fiqih
Munakahat. Semarang: Dina Utama (Toha Putra Grup)
[1]Moh Rifa’i, Fikih
Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), hlm. 483.
[2]Ibid., hlm. 489.
[3]Supriatna, Fatma amalia,
Yasin Baidi, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 58.
[4]Ibid., hlm. 60.
[5] Moh Rifa’i, Op. Cit.,
hlm. 483.
[6]Djamaan Nur, Fiqih
Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 137.
[7]Moh Rifa’i, Op. Cit., hlm.
486.
[8]Wardah Nuroniyah,
dkk, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras,
2011), hlm. 185.